Tingginya Gaji DPR dan Ekspektasi Masyarakat

Media sosial kembali diramaikan dengan kemarahan netizen setelah mengetahui besarnya komponen tunjangan yang didapatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah mendapatkan kenaikan. Beredar luas daftar infografis serupa dengan slip gaji yang menjabarkan besaran gaji pokok dan tunjangan-tunjangan lainnya yang didapatkan anggota DPR. Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015, selain gaji pokok, anggota DPR juga mendapatkan tunjangan melekat seperti istri/suami dan anak, uang sidang/paket, jabatan, beras, pajak penghasilan pasal 21. Namun, ada juga tunjangan lainnnya seperti tunjangan kehormatan, komunikasi, peningkatan fungsi, bantuan listrik dan telepon, dan asisten anggota.

Yang menambah pertanyaan publik ialah informasi terbaru bahwa akan diberikan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta untuk menggantikan rumah dinas yang sebelumnya diberikan kepada anggota DPR (nasional.kompas.id, 18/8/2025). Walaupun Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar harus terus menegaskan bahwa nominal total Rp100 juta yang diterima DPR itu bukan ”gaji, melainkan ”tunjangan” (nasional.kompas.com, 18/8/2025). Perbedaan kategori bentuk pendapat tidak menepiskan bahwa betul jumlah sekitar Rp100 juta-lah yang didapatkan oleh anggota DPR.

Ketua DPR Puan Maharani menjelaskan bahwa jumlah Rp50 juta per bulan sudah ditelaah sebaik-baiknya menurut harga pasaran yang ada di Jakarta. Ia juga memberikan kesempatan untuk menerima masukan atas evaluasi tunjangan rumah ini jika dirasa terlalu besar. Kritik diterima, ujarnya (cnnindonesia.com, 21/8/2025).

Mengamati kembali deretan tunjangan DPR, perlu dikritisi kembali apa fungsi dan makna dari tunjangan kehormatan yang diterima anggota DPR. Jika dibandingkan dengan perguruan tinggi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen Tunjangan Khusus Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor, tunjangan kehormatan hanya diberikan pada profesor sebagai bentuk penghargaan mencapai gelar tertinggi. Jika dibandingkan dengan DPR, seluruh anggota DPR mndapatkan tunjangan kehormatan dengan jumlah berbeda dari tingkat anggota, wakil, dan ketua. Terlepas nominal yang berbeda, jika semua anggota DPR mendapatkan tunjangan kehormatan, bahkan tanpa harus dibuktikan dengan kinerja yang sejalan dengan peran mereka sebagai perwakilan rakyat, maka apa faktor ”penghargaan” yang menjadi landasan pembeda pemberian tunjangan kehormatan?

Memandang situasi republik saat ini, di mana upah minimum rakyatnya mentok di Rp5.396.761 untuk Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025; polemik kenaikan pajak bumi dan bangunan drastis di beberapa daerah (detik.com, 22/8/2025); dan pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang (Badan Pusat Statistik, 5/5/2025), publik mempertanyakan dasar pemikiran keputusan tersebut, terutama di tengah gencarnya seruan efisiensi dari kalangan pemerintah.

Tidak hanya sisi empati yang dicari oleh publik, namun keseimbangan dengan hasil kerja yang dilakukan. Sebagaimana disampaikan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (21/8/2025) menyebutkan bahwa baru 1 dari 42 rancangan undang-undang Program Legislasi Nasional Prioritas yang baru disahkan. Indonesian Parliamentary Center (21/8/2025) juga mengungkap bahwa dari 119 rapat legislasi di tahun 2025, hanya 55,1 persen yang dilakukan secara terbuka. Sisanya secara tertutup (kompas.id, 21/8/2025).

Masyarakat yang tidak merasakan secara langsung dampak dari kinerja DPR, terutama setelah polemik UU Tentara Nasuona Indonesia, membuat penambahan tunjangan anggota DPR tidak akan memperbaiki hal itu dan justru menjadi pengeluaran negara yang berlebih. Jika sepintas dipertimbangkan untuk tuntutan kerja DPR yang memiliki kaliber besar untuk membentuk UU di tingkat nasional, tentu diperlukan untuk memberikan kompensasi kinerja itu. Namun, layaknya seorang yang bekerja pada umumnya, dan sebagai bagian dari lembaga politik, akuntabilitas dan transparansi hasil kerja DPR dan segenap anggotanya jelas harus menjadi tolak ukur juga dalam pemberian kompensasi.

DPR harus bisa membuktikan bahwa kompensasi yang diterima,  mencerminkan kerja yang bisa dipertanggungjawabkan. Harapan masyarakat sangat tinggi untuk DPR bisa transparan, berintegritas, akuntabel, etis, berempati, serta melakukan tugasnya dengan mencerminkan kebutuhan hukum masyarkat. Hal ini dimulai dengan dihentikannya rapat legislasi yang seharusnya partisipatif namun tertutup, secara akuntabel mempertanggungjawabkan aspirasi publik dari awal proses hingga akhir dibentuknya UU, dan mengkaji kembali beberapa poin tunjangan yang berpotensi menjadi beban anggaran di tengah efisiensi.

Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com 

Komentar