DPR Evaluasi Pejabat Negara? Selamat Tinggal Trias Politica

Baru-baru ini, mencuat kabar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI. Kewenangan ini diatur dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada hari Selasa (4/2/2025) (Kompas.com, 4/2/2025).

Kebijakan ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai langkah DPR tersebut melampaui kewenangannya dan berpotensi menabrak aturan hukum yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang telah mengalami beberapa perubahan, DPR memiliki tiga fungsi utama yang mencakup pembuatan undang-undang, pembahasan serta pengawasan anggaran, dan pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala dan bahkan potensi pencopotan pejabat negara sama sekali tidak tercantum dalam ketentuan tersebut. Langkah DPR ini dinilai berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dan mengancam prinsip “checks and balances” dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Selain itu, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran adanya politisasi dalam pengawasan terhadap pejabat negara. Evaluasi berkala dapat dimanfaatkan sebagai alat tekanan politik yang justru mengganggu independensi pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Kritik semakin tajam mengingat DPR sudah memiliki mekanisme formal untuk meminta pertanggungjawaban pejabat negara melalui forum rapat kerja serta hak interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.

Lebih dari itu, implikasi lain juga dapat terjadi. Misalnya,  gangguan terhadap independensi lembaga. KPK, MA, dan MK merupakan lembaga yang seharusnya independen sesuai dengan konstitusi. Memberikan DPR kewenangan mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian pejabat negara berpotensi menciptakan “chilling effect”, di mana pejabat takut mengambil keputusan yang tidak populer di mata DPR.

Jika kebijakan ini dibiarkan tanpa pengawasan yang jelas, juga ada risiko terjadi konflik konstitusional antara lembaga legislatif dan eksekutif. Pemerintah dan lembaga hukum perlu memastikan bahwa perubahan tata tertib DPR tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar hukum yang telah diatur dalam konstitusi serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Lagi-lagi, hal ini berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik terhadap DPR. Berdasarkan survei Indikator (2024), kepercayaan publik kepada DPR hanya sekitar 26,6 persen, angka yang tergolong rendah. Situasi ini menunjukkan bahwa DPR menghadapi tantangan besar dalam membangun citra yang positif dan memperkuat legitimasi di mata masyarakat.

Dalam konteks perubahan tata tertib, kebijakan ini seharusnya hanya berlaku secara internal sebagai panduan kerja antaranggota DPR dan alat untuk menjaga kinerja mereka sendiri.

Namun, menjadikan tata tertib tersebut sebagai dasar untuk menetapkan norma yang mengikat institusi lain, seperti KPK, MA, MK, dan lembaga negara lainnya, jelas menyalahi prinsip hierarki hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini selain bertentangan dengan undang-undang maupun konstitusi, juga berpotensi semakin memperburuk citra DPR di mata masyarakat.

Potensi konflik antar-lembaga negara juga bisa meningkat, yang artinya dapat merusak tata kelola pemerintahan yang seharusnya berjalan harmonis. DPR perlu menyadari batasan kewenangannya dan menempatkan diri sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan secara proporsional.

Untuk memperbaiki situasi ini, beberapa rekomendasi perlu dipertimbangkan. Pertama, DPR harus melakukan evaluasi internal terkait tata tertib yang telah direvisi dan memastikan kebijakan tersebut tidak melanggar ketentuan hukum yang lebih tinggi. Keterlibatan ahli hukum tata negara dalam proses evaluasi ini akan sangat penting untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan konstitusi.

Kedua, diperlukan peningkatan transparansi dalam pengambilan keputusan di DPR. Membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan akademisi dapat menjadi cara efektif untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Ketiga, DPR sebaiknya lebih fokus pada upaya legislasi yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, seperti peraturan yang mendukung kesejahteraan sosial, penguatan tata kelola pemerintahan, dan perlindungan hak asasi manusia.  Terakhir, penting bagi DPR untuk mengedepankan komunikasi publik yang efektif dalam menyampaikan kebijakan dan pencapaiannya. Menghindari kontroversi yang tidak perlu serta lebih mendengarkan aspirasi masyarakat akan membantu memperbaiki citra institusi ini di mata publik.

 

Felia Primaresti
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
felia@theindonesianinstitute.com

Komentar