Rambu-Rambu Awal Masa Persidangan DPR

Pada tanggal 21 Januari 2025, Masa Sidang II Tahun Sidang 2024-2025 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah dibuka dengan Rapat Paripurna. Dalam masa sidang baru ini, banyak harapan dan ekspektasi yang diberikan di pundak wakil rakyat terutama setelah hujan kritik yang didapat di akhir periode sebelumnya. Masa sidang ini perlu menjadi awal baru untuk DPR bisa kembali membuktikan dirinya dan mau berbenah. Berikut beberapa hal yang perlu kita kawal di awal masa sidang ini.

Komitmen Terhadap Prolegnas

Seperti yang sudah diketahui khalayak, Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang (Prolegnas RUU) Prioritas untuk periode 2025 sudah dibentuk pada 2024 lalu dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2025 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2025-2029. Dalam hal ini, penulis menyorot RUU yang memiliki hubungan langsung dengan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan inklusivitas, seperti RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Perlindungan Saksi dan Korban, dan RUU Perlindungan Pekerja Migran (Intania, 2025).

Menarik kembali sejarahnya, beberapa RUU yang disebutkan di atas telah melewati bertahun-tahun proses tanpa disahkan. RUU Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan sejak tahun 2003 dan naskah akademiknya telah dirumuskan pada tahun 2010. RUU ini telah melewati perubahan fundamental sampai ke nomenklatur, dari RUU Masyarakat Adat menjadi RUU Masyarakat Hukum Adat (huma.or.id, 15/11/2022). Sama halnya dengan RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU PPRT diajukan pertama kali pada tahun 2004 dan belum disahkan hingga saat ini (kompas.id, 23/3/2023).

Maka dari itu, perlu ditunjukkan komitmen dari DPR untuk mengikuti Prolegnas yang sudah disusun untuk mewujudkan pemenuhan HAM dan inklusi yang dicita-citakan. Ini juga penting untuk mewujudkan cita-cita yang digadang dalam poin pertama Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Dinamika Hukum Terbaru

Penyusunan RUU perlu juga memperhatikan dinamika hukum terbaru yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa memengaruhi daya ikat hukum itu sendiri. Dalam perkembangannya, putusan-putusan MK seperti ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menjadi sorotan utama (mkri.id, 2/1/2025). Perubahan ini membutuhkan direvisinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) untuk menyesuaikan kembali hasil putusan ini melalui proses kumulatif terbuka.

Tidak hanya terkait UU Pemilu, Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024 lalu yang memutus mengabulkan sebagian uji materil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) juga perlu ditindaklanjuti. Putusan ini mengharuskan pembentuk UU segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan terpisah dari UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun ini.

Penting untuk DPR bersama dengan pemerintah untuk menaati hasil putusan ini untuk menciptakan check and balance yang menjadi semangat pemerintahan kita. Kejadian ”pembangkangan” terhadap Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat minimal usia calon gubernur pada Agustus 2024 lalu yang menimbulkan kemarahan warga dan menyalakan demonstrasi berhari-hari harus menjadi pelajaran berharga bagi pembentuk UU supaya tidak terjadi lagi. Masyarakat punya ekspektasi yang besar untuk DPR bersama dengan pemerintah untuk menaati putusan-putusan MK ini.

Wacana-Wacana Baru

Wacana-wacana baru juga turut mengikuti awal masa persidangan ini. Pada 20 Januari 2025, saat masih masa reses DPR, Badan Legislasi mengadakan rapat untuk menyepakati revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagai usulan inisiatif DPR . Rapat yang diadakan saat masih masa resesi mengundang tanya dan kritik karena dilakukan secara tiba-tiba, tidak sesuai masa persidangan dimulai, dan tidak mengikutsertakan publik (tempo.co, 23/1/2025).

Dengan dalih telah mendapat izin dari pimpinan DPR yaitu Puan Maharani sebelum reses dan pembahasan yang dianggap genting karena dinamika sektor pertambangan menjadi alasan pembahasan RUU Minerba dilakukan sesegera mungkin. Tindakan ini tetap menuai pertanyaan dan potensi sarat akan kepentingan politik (liputan6.com, 23/1/2025; kompas.id, 21/1/2024).

Wacana berikutnya adalah terkait omnibus law politik yang dikabarkan akan merevisi serangkaian undang-undang terkait politik seperti UU Pemilu, UU Pemilihan Kepala Daerah, dan UU Partai Politik menjadi satu. Selain karena adanya Putusan MK terkait presidential threshold seperti dijelaskan sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir  memandang serangkaian UU ini perlu ikut direvisi dan dibahas berbarengan karena keterkaitannya antara satu sama lain yang menjadi intisari dari demokrasi (nasional.kompas.com, 17/1/2025; tempo.co, 5/1/2025). Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin juga menyebutkan bahwa demokrasi yang mahal menjadi masalah yang bisa diselesaikan dalam pembahasan omnibus law politik ini (jakarta.dpd.go.id, 15/1/2025).

Di balik wacana pembuatan omnibus law politik ini, perlu dikawal adanya bayang-bayang agenda yang kontra terhadap demokrasi seperti pemilihan kepala daerah di yang tidak akan menggunakan sistem pemilihan umum lagi melainkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Wacana ini sempat disinggung oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai bagian dari usulan Presiden Prabowo Subianto untuk dibahas nantinya (cnnindonesia.com, 17/12/2024).

Pembahasan omnibus law politik ini harus dikawal oleh semua lapisan masyarakat karena ini menyangkut kedaulatan rakyat yang menjadi landasan dari negara ini. Partisipasi publik menjadi krusial dalam pembahasannya supaya tetap bisa mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, pembahasan RUU yang sarat akan substansi politik selalu dengan mudah bisa mengambil perhatian publik, maka dari itu, perhatian masyarakat perlu tetap awas mengawal RUU lainnya, terutama yang berhubungan langsung dengan inklusi dan pemenuhan HAM.

Alat Kelengkapan Baru

DPR juga memiliki alat kelengkapan baru yang digadang akan menjawab tuntutan masyarakat terhadap akomodasi masukan dan pendapat publik, yaitu Badan Aspirasi Masyarakat (BAM). Namun, tidak sedikit dari publik yang merasa bahwa keberadaan BAM ini sebetulnya tidak diperlukan, mengingat ini adalah tugas sejatinya dari para Anggota DPR sebagai wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Hal ini diutarakan juga oleh Lucius Karus (2024) sebagai Peneliti Forum Masyarakat Peduli parlemen Indonesia.

Namun demikian, BAM tetap disahkan keberadaannya. Menurut Wakil Ketua BAM DPR RI, Taufiq R Abdullah dalam pernyataannya (kompas.id, 24/1/2025), dalam masa sidang I pada Oktober-Desember 2024 lalu, BAM belum terlihat pergerakannya lantaran masih terlalu baru sehingga perlu penyesuaian kembali. Karena keberadaannya yang sudah disahkan, BAM diharapkan bisa menunjukkan peran dan fungsinya dengan baik untuk membuktikan alasannya dibentuk. Jangan sampai keberadaan BAM terbukti justru menghambat dan memperumit laju penerimaan aspirasi di DPR, bukannya menjadi solusi yang awalnya digadang.

 

Christina Clarissa Intania – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute

christina@theindonesianinstitute.com

Komentar