Sepanjang tahun 2017 hingga tulisan ini dibuat, kasus korupsi megaproyek penerapan Kartu Tanpa Penduduk Elektronik (KTP Elektronik) masih belum tuntas. Hingga hari ini kasus ini masih menyisakan berbagai polemik karena di samping nilai kerugiannya yang besar, kasus ini melibatkan banyak sekali nama pejabat pemerintahan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Selain itu kasus ini juga telah menciptakan isu berupa drama perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menyusul dikeluarkannya hak angket DPR terhadap KPK dan penetapan kembali Ketua DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik untuk kedua kalinya pada Oktober 2017 lalu.
Kasus korupsi proyek penerapan KTP Elektronik merupakan salah satu contoh kasus korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) di Indonesia. Kerugian negara akibat korupsi KTP Elektronik ini tebilang sangat besar yakni sebesar Rp. 2,3 triliun dari total dana proyek yang dianggarkan sebesar Rp. 5,9 triliun. Artinya hampir 50% dana proyek KTP Elektronik ini telah dikorupsi. Sebagaimana kasus korupsi PBJ yang banyak terjadi selama ini, kasus korupsi KTP Elektronik juga melibatkan banyak pihak, baik dari swasta yakni pemenang dan pemegang tender, maupun pemerintah yang kemudian melakukan persekongkolan dengan pihak pemegang tender proyek tersebut.
Sebagai contoh kasus korupsi PBJ lainnya adalah kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang atau dikenal dengan Kasus Hambalang. Kasus ini mulai diselidiki oleh KPK sejak tahun 2011. Kerugian negara akibat kasus ini adalah sebesar Rp. 706 miliar. Selain kerugian yang cukup besar kasus ini juga telah menyeret beberapa nama politisi, seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga pada saat itu), Angelina Sondakh (anggota DPR Fraksi Partai Demokrat pada saat itu), dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya, khususnya di Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora). Hingga saat ini proses pengusutan terhadap kasus ini belum dihentikan oleh KPK. Pada Februari 2017, KPK menetapkan tersangka baru dalam Kasus Hambalang yakni Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, yang kemudian ditahan oleh KPK (Tempo.co, 19/02/17).
Hampir 80 persen kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa (Kompas.com, 28/9/17). Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, dalam Laporan Tahunan KPK 2016 menyebutkan bahwa sektor pengadaan barang dan jasa adalah titik rawan tindak pidana korupsi, di samping sektor atau bidang perencanaan dan pengelolaan APBD (Anggaran Pemerintah dan Belanja Daerah), serta pelayanan perizinan (Laptah KPK, 2016).
Titik rawan penyimpangan di sektor PBJ selama ini telah dimulai dari tahap perencanaan pengadaan. Pada tahap ini, cenderung terjadi penggelembungan (mark-up) anggaran yang merugikan keuangan negara. Kerawanan penyimpangan juga terjadi pada tahap pembentukan lelang, pra kualifikasi perusahaan, penyusunan dokumen lelang, tahap pengumuman dokumen lelang, dan tahap penyusunan harga perkiraan sendiri.
Berdasarkan hasil kajian KPK terhadap upaya pencegahan korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah ditemukan bahwa korupsi PBJ paling banyak terjadi pada 5 (lima) tahapan atau proses. Antara lain: (1) tahap perencanaan anggaran; (2) tahap perencanaan-persiapan PBJ Pemerintah; (3) tahap pelaksanaan PBJ Pemerintah; (4) tahap serah terima dan pembayaran; dan (5) tahap pengawasan dan pertanggungjawaban (Laptah KPK, 2016).
Pada proses perencanaan anggaran dan persiapan PBJ Pemerintah, unsur-unsur yang berpotensi terlibat korupsi meliputi DPR/DPRD, Kepala di Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Pejabat Pembuat Kontrak (PPK), Pimpinan Proyek/Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pimpro/ Pokja ULP), Pengusaha/ Vendor. Sedangkan pada proses pelaksanaan PBJ Pemerintah dan proses serah terima dan pembayaran unsur yang mungkin terlibat meliputi PPK, Pimpro/Pokja ULP, Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Panitia Penerima Barang, Pengusaha/Vendor. Kemudian pada proses pengawasan dan pertanggungjawaban unsur yang mungkin terlibat adalah PPK, Pimpro/Pokja ULP, BPK/BPKP, Penegak Hukum (Aida Ratna Zulaiha, acch.kpk.go.id, 5/12/17).
Ada beberapa modus operandi keterlibatan pejabat publik dan perusahaan swasta dalam korupsi PBJ. Pada umumnya modus yang digunakan antara lain: (1) suap pihak swasta kepada pejabat publik; (2) pejabat publik menggunakan perusahaan boneka/ perusahaan tertentu untuk diajak kerjasama menjalani korupsi; dan (3) kolusi antar peserta tender, penetapan harga, kartel, dan praktik yang tidak kompetitif (Aida Ratna Zulaiha, acch.kpk.go.id, 5/12/17).
Korupsi di sektor PBJ Pemerintah ini setidaknya akan mengakibatkan 3 (tiga) hal yaitu rendahnya kualitas barang dan jasa pemerintah, kerugian keuangan negara, dan rendahnya nilai manfaat yang didapatkan. Oleh karena itu korupsi di sektor ini menurut Penulis harus menjadi perhatian bersama. Bukan hanya oleh KPK, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai stakeholder utama pencegah dan pemberantas korupsi, tetapi oleh semua pihak, baik di pemerintahan (kementerian/ lembaga/ Pemda), juga masyarakat sipil.
Saat ini telah ada situs yang bernama opentender.net yang menyajikan data-data pengadaan barang, jasa, maupun konstruksi yang melalui proses lelang elektronik. Melalui situs ini, masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pencegahan korupsi di sektor PBJ. Masyarakat juga bisa mencari tahu sendiri apakah dalam pengerjaan suatu proyek terdapat dugaan penyimpangan. Dalam situs opentender.net telah dirinci secara jelas mengenai proyek tertentu, termasuk harga perkiraan sendiri, dana pagu, dan perusahaan pemenang lelang. Selain itu juga tercantum nilai skor potensi kecurangan, mulai dari angka 1 hingga 20. Semakin tinggi nilai angkanya, semakin besar adanya dugaan potensi kecurangan. Data tersebut dihimpun dari LPSE masing-masing wilayah atau lembaga.
Temuan yang didapat dari Opentender.net bisa ditindaklanjuti dengan mencari dokumen-dokumen pengadaan barang dan jasa. Persoalannya apakah tiap-tiap instansi dapat dimintai dokumen tersebut atau tidak?
Dari pengalaman yang pernah dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), terkadang dokumen tender yang diperlukan atau diminta butuh waktu lama untuk mereka dapatkan. Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap instansi di pemerintahan pada umumnya masih tertutup dan belum membuka data-data yang ada secara umum (Kompas.com, 28/09/17).
Kondisi demikian akan menyulitkan partisipasi banyak pihak, masyarakat sipil misalnya, dalam proses pengawasan terhadap potensi penyimpangan pengadaan. Oleh karena itu ke depan perlu di dorong kembali keterbukaan informasi publik di sektor pengadaan barang dan jasa. Keterbukaan ini perlu dilakukan mulai dari proses perencanaan, perencanaan dan persiapan PBJ Pemerintah, pelaksanaan PBJ Pemerintah, serah terima dan pembayaran dan tahap pengawasan dan pertanggungjawaban. Langkah ini menurut Penulis merupakan salah satu langkah yang sangat penting agar upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan secara represif yakni ketika korupsi tersebut telah dilakukan. Akan tetapi juga dilakukan secara preventif artinya mencegah terjadinya korupsi yang mana lebih lanjut akan mencegah terjadinya kerugian negara.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com