Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) resmi mengesahkan Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) setelah rancangannya disiapkan DPR dan pemerintah dalam waktu yang cepat. Undang-undang a quo disahkan lewat satu ketukan palu Ketua DPR RI Puan Maharani setelah mendapat persetujuan secara aklamasi oleh para anggota rapat paripurna ke-13 DPR masa sidang 2021-2022 pada Selasa, 18 Januari 2022 (bbc.com, 18/01/2022).
Merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketika sebuah rancangan undang-undang (RUU) telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, maka selanjutnya RUU tersebut akan disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak disetujui. Oleh karena itu, dapat dipastikan UU IKN akan segera menjadi dasar hukum untuk melakukan pemindahan ibu kota negara. Padahal masih terdapat beberapa persoalan yang terdapat dalam muatan isi undang-undang tersebut.
Salah satu persoalan subtansial yang terdapat dalam UU IKN adalah kemunculan ketentuan tentang pemerintahan khusus ibu kota negara yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita IKN yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden. Pada rancangan undang-undang a quo juga disebutkan bahwa Otorita IKN merupakan lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melaksankan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta melakukan penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN. Ketentuan ini secara langsung mereduksi semangat desentralisasi yang menjadi salah satu perubahan mendasar ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi.
Kepala otorita yang dipilih hingga dapat diberhentikan secara langsung oleh Presiden merupakan bentuk pengabaian terhadap semangat reformasi. Ketiadaan kekuatan penyeimbang kekuasaan eksekutif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam UU IKN berpotensi membuat pemerintahan daerah tersebut berjalan dengan ugal-ugalan dan tanpa pengawasan. Dalih IKN sebagai daerah yang memiliki kekhususan pun tidak dapat diterima. Pasalnya, pemerintah daerah khusus seperti Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi DKI Jakarta tidak ada yang meniadakan keberadaan lembaga legislatif dalam menjalankan pemerintahan daerah.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, kemudian daerah provinsi tersebut dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Lalu pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga dijelaskan bahwa gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Ketentuan terkait dengan pemerintah daerah dalam konstitusi telah memberikan batasan yang konkret tentang satuan-satuan pemerintah yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya di tingkat daerah. Penggunaan frasa “otorita” dan “kepala otorita” dalam RUU IKN yang tidak dikenal oleh UUD 1945 membuat DPR bersama dengan presiden selaku pembentuk undang-undang secara langsung telah menerobos ketentuan yang terdapat dalam konstitusi.
Sebagai salah aturan pelaksana dari ketentuan tentang pemerintah daerah yang terdapat dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) memberikan pengaturan yang minor terkait dengan kawasan otorita. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 360 ayat (2) UU Pemda yang memberikan klasifikasi terhadap kawasan khusus, dan kawasan otorita menjadi salah satunya. Keberadaan pengaturan kawasan khusus dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional. Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Perlu digaris bawahi, pengaturan dan penjeleasan terkait dengan otorita dalam UU Pemda sebagai bagian dari kawasan khusus dan bukan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah. Kewenangannya sebatas pada keterkaitan kepentingan kawasan khusus yang dikelola. Seperti kawasan pelabuhan, perdagangan bebas, kawasan hutan lindung, kawasan taman laut, dan sebagainya (hukumonline.com, 20/1/2022). Oleh karena itu, pengaturan tentang “otorita” dan “kepala otorita” dalam RUU IKN tidak sejalan dengan konsep sistem pemerintahan daerah.
Pemilihan kepala otorita sebagai pemimpin ibu kota negara yang baru merupakan sebuah kekeliruan dalam UU IKN. Presiden yang memiliki kewajiban untuk menjalankan ketentuan undang-undang a quo harus mengambil langkah taktis untuk menyelamatkan desentralisasi dan demokrasi yang menjadi cita-cita reformasi hukum di Indonesia.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
hemi@theindonesianinstitute.com