Sejak tahun 2019, terdapat persoalan dalam proses legislasi beberapa undang-undang di Indonesia. Kita masih mengingat masifnya penolakan masyarakat terhadap Perubahan Kedua Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Terdapat persamaan pada dua produk hukum tersebut, yaitu proses legislasinya yang dilakukan dalam waktu singkat dan minim partisipasi publik.
Proses pembahasan hingga pengesahan terhadap Perubahan Kedua UU KPK hanya memakan waktu 12 hari (kompas.com, 17/9/2022). Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang membutuhkan waktu 43 hari (kompas.com, 19/1/2022). Kedua produk legislasi ini juga tidak membuka ruang bagi partisipasi publik secara bermakna dalam proses pembahasannya. Padahal, partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) tidak hanya sekadar mengundang perwakilan masyarakat untuk ikut dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Kita dapat melihat contohnya pada pelibatan masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN). Pelibatan masyarakat Kalimantan Timur berdasarkan laporan singkat Pansus RUU IKN hanya diwakilkan oleh Forum Dayak Bersatu (FDB) yang merupakan organisasi masyarakat yang mengakomodir seluruh komunitas Dayak se-Kalimantan. Organisasi masyarakat ini mengklaim bahwa seluruh masyarakat adat Kalimantan memberikan dukungan penuh atas rencana untuk melakukan pemindahan ibu kota negara ke dua kabupaten yang ada di Kalimantan Timur. Seharusnya, Pansus RUU IKN tidak hanya melakukan audiensi dengan kelompok terbatas jika ingin mendapatkan pandangan dan pertimbangan yang utuh untuk dapat melakukan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Cepatnya waktu pembahasan sebuah rancangan undang-undang hingga tertutupnya ruang bagi partisipasi publik merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa telah terjadi praktik korupsi legislasi dalam proses pembentukan hukum di Indonesia. Korupsi yang terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat disebut dengan state capture. Dalam state capture, terdapat dua aktor yang bermain, yakni kelompok kepentingan dan pembentuk undang-undang.
Kelompok kepentingan memiliki misi mendorong peraturan perundang-undangan yang disusun agar mengarah pada bentuk-bentuk perilaku monopolistik sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya (supernormal profit) dan mempertahankan market power-nya. Disisi lain, pembentuk undang-undang mengharapkan uang atau prospek keuntungan pribadi lainnya dari kelompok kepentingan tersebut sebagai imbalan atas “jasa” yang telah dilakukan (Purawan, 2014).
State Capture merupakan fenomena yang tidak mudah diberantas, namun dapat diminimalkan dengan adanya proses legislasi dan pembentukan kebijakan yang transparan dan partisipatif. DPR RI bersama dengan pemerintah selaku pembentuk undang-undang harus membuka ruang partisipasi publik secara lebih bermakna (meaningful participation). Masukan yang diberikan oleh publik terhadap suatu rancangan undang-undang—baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui website DPR RI—harus dibahas dalam proses legislasi.
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: 1) hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); 2) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan 3) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum