Beberapa waktu ini terjadi polemik di masyarakat terkait kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menghapus ketentuan pembukuan dan penyampaian Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dari Peraturan KPU (PKPU) untuk Pemilu 2024 nanti. Hal ini disampaikan KPU pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI bersama KPU RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada hari Senin (29/5). KPU berdalih LPSDK dihapus karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) (katadata.co.id, 9/6).
Sedangkan pada Pemilu 2019 lalu, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 34 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu, setiap peserta Pemilu diwajibkan oleh KPU untuk menyampaikan LPSDK. Namun, untuk Pemilu 2024, KPU menghapus ketentuan itu dalam Rancangan PKPU tentang Pelaporan Dana Kampanye. KPU beralasan bahwa LPSDK tidak diatur dalam UU Pemilu. Selain itu, KPU menilai masa kampanye pada Pemilu 2024 lebih singkat dibanding Pemilu 2019 (katadata.co.id, 9/6).
Berdasarkan penjelasan Anggota KPU RI Idham Holik, KPU memastikan publik dapat mengawasi secara transparan laporan dana kampanye peserta Pemilu 2024 meski LPSDK dihapuskan. KPU akan mendorong peserta Pemilu untuk melaporkan pembaharuan penerimaan dana kampanye setiap harinya. Penerimaan sumbangan itu, lanjutnya, disampaikan melalui Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam). Idham menjelaskan, jika menerima sumbangan dana kampanye hari ini, peserta Pemilu harus menyampaikannya ke Sidakam. Nantinya, KPU akan mengintegrasikan laporan dalam Sidakam ke laman infopemilu (mediaindonesia.com, 6/6).
Melalui integrasi laporan dalam Sidakam ke laman infopemilu, Idham berharap masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi dana kampanye peserta Pemilu. Sebab, laporan dari masyarakat dapat dijadikan bahan audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang telah ditunjuk KPU. Kendati demikian, ia mengakui bahwa informasi yang terterang pada laman infopemilu tidak detail. Kwitansi penerimaan serta NIK penyumbang dana kampanye, misalnya, tidak dicantumkan karena merupakan informasi yang dikecualikan. Idham juga membantah adanya praktik penyelundupan dari penghapusan kebijakan LPSDK. Menurutnya, KPU sudah menyampaikan kebijakan baru tersebut sejak uji publik maupun rapat konsultasi dengan Komisi II DPR RI dan pemerintah (mediaindonesia.com, 6/6).
Penghapusan LPSDK dinilai sejumlah pihak kemunduran bagi transparansi dana kampanye dalam pemilu. Koalisi Masyarakat Indonesia Antikorupsi yang terdiri dari 146 organisasi masyarakat sipil meminta Bawaslu untuk mendesak KPU agar kembali mengatur LPSDK. Penghapusan kewajiban peserta Pemilu 2024 dalam menyusun dan melaporkan LPSDK, jelas berpotensi merugikan pemilih, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti pemilih pemula, lansia, disabilitas, komunitas adat, serta melemahkan semangat antikorupsi (bawaslu.go.id, 19/6).
Sedangkan Dosen Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menganggap kebijakan ini bermasalah sebab tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya. Dengan tingginya ongkos politik di Indonesia, keterlibatan sumbangan dari pihak ketiga kerapkali dituding sebagai salah satu penyebab korupsi yang terjadi ketika kandidat tersebut terpilih sebagai pejabat (kompas.com, 23/6).
Berdasarkan paparan tersebut, pelaporan sumbangan dana kampanye merupakan langkah yang sangat penting. Hal ini dilakukan sebagai bagian implementasi transparansi kepada publik karena transparansi dana kampanye memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang partai atau calon yang akan mereka dukung (Karl-Heinz Nassmacher, 2003).
Oleh sebab itu, aturan tentang pelaporan dana kampanye harus dilaksanakan secara konsisten. Diperlukan upaya bersama dari penyelenggara dan peserta Pemilu, serta masyarakat sipil untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye, termasuk dalam pelaporan sumbangan dana kampanye.
Upaya-upaya yang relevan sampai saat ini untuk dilakukan adalah pertama, mendorong KPU untuk tetap mempertahankan LPSDK bagi peserta Pemilu. Hal ini agar KPU bersikap konsisten dalam menjalankan aturan dana kampanye yang tertuang pada UU Pemilu. Selain itu, penting bagi KPU untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas para peserta Pemilu yang notabene berkompetisi untuk menjadi pejabat publik. LPSDK juga dapat menjadi bagian dari informasi bagi pemilih nantinya.
Kedua, KPU harus tegas dalam memberikan sanksi jika ada peserta yang tidak menyampaikan laporan dana kampanye, termasuk LPSDK. Ketiga, mendorong KPU untuk memperkuat sosialisasi kepada partai politik untuk menginformasikan kepada publik tentang laporan sumbangan dana kampanyenya di Sidakam.
Keempat, Bawaslu, dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan terkait pelaporan dana kampanye parpol Pemilu 2024. Misalnya, dengan memberikan informasi berkala kepada masyarakat untuk mengumumkan peserta Pemilu yang belum menyampaikan laporan keuangannya secara transparan dan akuntabel. Hal ini juga dapat menjadi disinsentif elektoral bagi para peserta Pemilu yang tidak menaati peraturan terkait tentang transparansi anggaran yang telah digariskan, termasuk dalam kaitannya dengan pelaporan sumbangan dana kampanye.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Reearch (TII)