Menjadi Bangsa yang Gemilang, Catatan Hari Pendidikan Nasional

David Krisna Alka

David Krisna Alka, Research Associate The Indonesian Institute

”Menjadi tuan kecil lebih berharga daripada menjadi budak besar”
Engku Sjafei

Sampai saat ini kesenjangan tingkat pendidikan dan ekonomi masih cukup tinggi di negeri ini. Jumlah penduduk miskin pun tak signifikan berkurang. Padahal, bangsa ini memiliki sejarah perjuangan yang panjang untuk merdeka. Darah dan air mata tertumpah untuk merebut kedaulatan dan harga diri bangsa.

Dulu, negeri ini banyak mempunyai pejuang sekaligus pemimpin dan pemikir, jujur, bermoral tinggi, dan mengutamakan pendidikan dan kesejahteraan bagi kaum miskin di atas segalanya.  Padahal konsep bangsa berarti setiap masyarakat yang menempati suatu wilayah yang mengutamakan rasa senasib dan seperjuangan.

Ada bermacam-macam bentuk dan warna golongan dalam kebangsaan. Ada kebangsaan cap ningrat, kebangasaan cap intelek, dan kebangsan cap rakyat. Ketiga golongan kebangsaan ini mewarnai perjalanan kehidupan berbangsa di Tanah Air. Bahkan sejarah dunia cukup membuktikan bahwa ketiga golongan kebangsaan ini senantiasa ada.

Tentunya pilihan kita bukan pada kebangsaan cap ningrat, yang tampak primordial dan feodal. Kebangsaan kita adalah kebangsaan rakyat. Rakyat mesti sadar dengan kedaulatannya. Kaum intelektual mesti tanggap dan cepat memberi arah dan jalan bagi rakyat untuk mencapai kedaulatan sesungguhnya.

Bangsa yang terdidik
Sejarah suatu bangsa ditentukan oleh mereka sendiri. Demikian juga, rakyat berdaulat atau tidak, sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Sudah menjadi tugas para pemimpin, politikus, ulama, dan cendekiawan, serta tokoh-tokoh bangsa lainnya untuk mendengarkan suara rakyat dan mengartikulasikannya menjadi agregasi dan agenda perubahan politik ke arah yang lebih baik. Jika tidak, bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang terdidik dan mandiri.

Memang ada upaya pemerintah dan rakyat Indonesia untuk meningkatkan pendidikan dengan bertambahnya jumlah dan jenis sekolah, karena besarnya hasrat rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Namun, yang diutamakan seringkali jumlah sekolah, bukan mutunya.

Pemimpin dan politisi negara sudah waktunya harus memikirkan mutu sekolah yang sesuai dengan cita-cita bangsa yang merdeka dan berdaulat. Mengingat laju perkembangan ilmu pengetahuan demikian cepat dengan langkah yang melompat-lompat, diperlukan strategi yang jitu dan kerja yang keras agar bangsa kita terdidik dan lebih maju.

Belajar dari Engku Sjafei
Engku Moehammad Sjafei, pendiri Ruang Pendidik Indonesisch Nederland School (INS) Kayutanam, sekolah yang berdiri sebelum republik ini merdeka, menguraikan bagaimana langkah memulai meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran. Menurut Engku Sjafei, kebijaksanaan membangun sekolah yang seragam dalam segala hal, baik program, kurikulum dan arahnya, adalah sangat keliru mengingat suku bangsa Indonesia bermacam ragam dan kondisi sosial dan budayanya tidak sama (Navis, 1996).

Engku Sjafei berpandangan, masyarakat kota menghendaki sekolah yang dapat mengantarkan anak-anak mereka memasuki sekolah tinggi. Akan tetapi, masyarakat desa menghendaki agar anak-anak mereka memperoleh pekerjaan yang berpenghasilan lebih baik.

Demikian juga dengan menyamaratakan uang sekolah bagi anak orang kaya dengan orang miskin sudah perlu ditinjau. Asas sama rata itu tidak mendukung rasa kemanusiaan. Artinya, anak orang kaya sama mendapat subsidi dari pemerintah, padahal yang berhak menerima subsidi tentunya anak orang miskin.
Adalah tidak salah apabila kita mencontoh struktur, sistem, dan perogram pendidikan dan pengajaran dari setiap negara yang lebih maju. Tetapi tetap perlu dipahami benar-benar bahwa kondisi dan situasi alam serta perilaku tradisi bangsa Indonesia tidak sama. Kalau Indonesia mau meniru, tirulah sifat aktif-kreatif mereka.

Apabila program pendidikan dan pengajaran dititikberatkan pada kuantitias saja, baik jumlah sekolah maupun dalam jumlah murid yang lulus, akan tiba masa nanti para guru atau mahaguru menurunkan materi kurikulum agar murid bisa lulus dengan mudah. Itu akan berakibat buruk sehingga bangsa Indonesia akan memiliki tabiat tidak bertanggung jawab. Baik pada diri sendiri, pada bangsa maupun pada moral kemanusiaan.

Alam Indonesia baik yang di udara, di atas tanah dan di dalam tanah, maupun di lautan, sekaliannya sangatlah begitu kaya. Begitu pula jumlah penduduknya begitulah besar. Yang kurang padanya adalah pengalaman, pengetahuan, kemauan, dan modal. Jika bangsa Indonesia sejati itu memilikinya dan dilengkapi dengan akitivitas yang besar, pada suatu masa yang dekat pasti Indonesia mengalami kegemilangan yang mahabesar. Semoga masa gemilang itu segera tiba.

David Krisna Alka, Research Associate, The Indonesian Institute, davidkrisna@gmail.com

Komentar