Lingkungan pendidikan di Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan diskriminasi. Salah satu bentuk diskriminasi tersebut misalnya terkait pemaksaan maupun larangan untuk menggunakan jilbab. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Masalah penggunaan jilbab di lingkungan pendidikan bukan fenomena yang baru di Indonesia. Di masa Orde Baru, pemerintah sempat melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah. Pemerintah kala itu beranggapan bahwa jilbab adalah simbol politis yang berasal dari Mesir dan Iran yang situasi politiknya tidak sama dengan situasi budaya Indonesia. Pemerintah khawatir bahwa penggunaan jilbab akan mengganggu stabilitas politik (Qibtiyah, 2019).
Seiring berkembangnya dinamika pemakaian jilbab di masyarakat, fenomena penggunaan jilbab di lingkungan pendidikan pun turut berubah. Jika di era orde baru jumlah perempuan yang menggunakan jilbab, termasuk di lingkungan pendidikan, menjadi golongan minoritas, sementara itu saat ini mayoritas perempuan muslim telah menggunakan jilbab.
Survei yang dilakukan oleh Tim Jajak Pendapat (2014) pada 626 orang perempuan muslim menunjukkan bahwa 63,58% dari responden tersebut memakai hijab. Bahkan di tahun 2007 saja, studi Smith-Hefner (2007) di Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa pemakai jilbab di sana kala itu mencapai 60%. Banyaknya perempuan yang menggunakan jilbab saat ini merupakan akibat dari berbagai faktor, salah satunya yakni semakin terbukanya pengakuan atas keberagaman identitas di Indonesia.
Di tengah kemudahan bagi semua perempuan untuk berjilbab di lingkungan pendidikan, sayangnya justru muncul beberapa pemaksaan pada siswi untuk menggunakan jilbab. Beberapa contohnya terjadi di salah satu SMA negeri di DI Yogyakarta pada tahun 2022, SD dan SMP negeri di Jakarta Barat pada 2022, SMP negeri di Sumatera Barat pada tahun 2021, dan di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta pada tahun 2017.
Studi Human Rights Watch/HRW (2021) menggambarkan bagaimana seorang siswi di salah satu sekolah negeri Yogyakarta pada tahun 2017 merasa tertekan karena mendapat paksaan dari gurunya untuk mengenakan jilbab. Meskipun sekolah dan para guru tidak secara eksplisit mengatakan bahwa siswi tersebut harus berjilbab, namun mereka memberi komentar yang tidak diinginkan atau merendahkan pilihan siswa untuk tidak memakai jilbab. Padahal dalam aturan di sekolah tersebut tidak disebutkan bahwa siswi wajib memakai jilbab. Namun sikap yang ditunjukkan oleh guru seolah memberi kesan bahwa siswi beragama islam harus memakai jilbab.
Peraturan sekolah yang multitafsir salah satunya disebabkan oleh adanya peraturan lebih tinggi yang multitafsir pula. Menurut HRW (2021), sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, banyak pemerintah daerah membuat ratusan peraturan bernuansa Syariat, termasuk aturan dengan sasaran perempuan dan anak perempuan serta pakaian mereka.
Sebagai upaya mengatasi adanya multitafsir tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Agama (Menag) telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (SKB Seragam). Dalam SKB tersebut salah satunya tertulis bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Permasalahan muncul ketika banyak guru, tenaga kependidikan, maupun pelaku pendidikan lainnya yang belum mengetahui dan memahami substansi dari SKB tersebut. Akibatnya, masih ada siswi di sekolah negeri yang dipaksa menggunakan jilbab. Pemaksaan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi seseorang. Secara lebih luas, pemaksaan tersebut mnerupakan bagian dari ancaman terhadap kesetaraan gender. Adanya pemaksaan tersebut membuat siswi perempuan menjadi tidak leluasa untuk mengenyam pendidikan.
Maka dari itu, diperlukan upaya dari Kemendikbud, Kemenag, dan kementerian/lembaga terkait lainnya untuk menegakkan SKB Seragam dengan terus menyosialisasikannya pada pimpinan satuan pendidikan, guru, tenaga kependidikan, dan pelaku pendidikan lainnya. Diperlukan pula peran dari akademisi dan think tank untuk terus mengedukasi masyarakat terkait pentingya merawat pluralisme dan multikulturalisme dalam bernegara. Selain itu, Kemendikbud, Kemenag, dan satuan pendidikan juga perlu memberikan pendidikan yang mengedepankan pluralisme dan multikulturalisme. Dengan begitu, harapannya siswa/siswi memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kepercayaan masing-masing dan dapat belajar dengan nyaman.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)