Kontroversi Pengesahan Revisi UU KPK

Pada hari Selasa 17 September 2019 yang lalu, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Terdapat beberapa poin dalam revisi UU KPK tersebut, yaitu Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan melalui izin Dewan Pengawas, penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara), koordinasi kelembagaan, mekanisme penggeledahan, penyitaan, sampai sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Pengesahan ini dilakukan ditengah maraknya aksi penolakan terhadap poin-poin revisi UU KPK oleh pegiat anti korupsi, kalangan akademisi, serta KPK itu sendiri. Poin-poin revisi tersebut dianggap akan memperlemah kinerja KPK dikemudian hari dalam upayanya pemberantasan korupsi. Tak ayal, pengesahan revisi UU KPK menuai kontroversi.

Mempertanyakan Komitmen Pemberantasan Korupsi

Pengesahan yang dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah, seakan menepikan suara rakyat. Hal ini kemudian membuat publik bertanya akan komitmen mereka ditengah terus menurunnya ketidak percayaan publik kepada lembaga legislatif dan partai politik di Indonesia.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap putusan bebas/lepas kasus korupsi di pengadilan umum dalam rentang tahun 2005-2008, memperlihatkan dari 1.421 terdakwa yang terpantau, lebih dari 700 diantaranya merupakan kader-kader partai politik, baik yang duduk di DPR, DPRD, ataupun pimpinan pemerintahan daerah (icw.or.id 19/03/09). Selain itu, berdasarkan data KPK jumlah anggota DPR atau DPRD yang telah terjerat kasus korupsi disepanjang tahun 2018 saja, telah mencapai 103 orang. Kondisi ini akhirnya berdampak terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap pemimpin publik yang dihasilkan oleh partai politik (Muhammad Aulia Y.Guzasiah, 2019).

Urgensi Tetap Melawan Korupsi

Pengesahan revisi UU KPK membuat kekecewaan yang mendalam dari para pegiat anti korupsi dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan korupsi, meminjam istilah John Girling (1997), telah berjalan secara sistemik di Indonesia. Korupsi sistemik, adalah korupsi yang telah menyerang seluruh lapisan masyarakat serta sistem kemasyarakatan. Karena dalam segala proses kerja sistem dari masyarakat, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal ini disebut dengan korupsi sistemik karena sudah memengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi tingkah laku individu pada semua tingkatan sistem politik, sosial, dan ekonomi.

Bahkan lebih berbahaya lagi, saat ini praktik korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan di dalam sistem demokrasi. Robert Klitgaard (2000) menyatakan bahwa korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Senada dengan Klitgaard, H. A. Brasz sebagaimana dikutip oleh Mochtar Lubis dan James C Scott menyatakan korupsi sebagai  penggunaan  yang  korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah (Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, 1995).

Lebih lanjut, akibat dari praktik korupsi di dalam sistem demokrasi yaitu pertama, menyebabkan turunnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi. Kedua, menurunkan kualitas lembaga tinggi negara dalam menjalankan peranannya. Kemudian yang ketiga, menurunkan kepatuhan hukum dimata masyarakat.

Oleh karena itu, walaupun revisi UU KPK telah ditetapkan, namun sejatinya perlawanan terhadap korupsi tidak boleh melemah. Perlawanan terhadap korupsi harus perlu dilakukan dengan cara yaitu pertama, segenap komponen masyarakat seperti Mahasiswa, Kelompok Masyarakat Sipil, Akademisi dan Media Massa sudah selayaknya terus mengawasi KPK ke depannya untuk tetap pada tujuannya.

Kedua, diharapkan bagi Pemerintah dan DPR untuk tidak kembali memberikan kebijakan yang akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Karena praktik korupsi  merupakan tindak pidana luar biasa, yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga akan merusak sistem demokrasi yang telah dibangun di negeri ini.

 

Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar