
Hemi Lavour Febrinandez – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sejumlah poin dalam pengujian (judicial review) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Secara umum pada putusan tersebut, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
MK memberikan tenggat waktu kepada DPR RI bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan yang diperintahkan oleh putusannya tersebut. Selain ketentuan tentang jangka waktu perbaikan, putusan MK juga memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Ketentuan ini sebenarnya menimbulkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Sikap MK melarang penerbitan peraturan pelaksana baru merupakan satu langkah yang benar. Namun, perintah untuk “menangguhkan segala tindakan maupun kebijakan strategis dan berdampak luas” dapat dijadikan sebagai celah untuk dapat tetap melaksanakan ketentuan dalam UU Cipta Kerja.
Hal tersebut diakibatkan karena putusan MK a quo tidak memberikan penjelasan maupun tafsir terkait yang dimaksud dengan “tindakan”, “kebijakan strategis”, dan “berdampak luas”. MK pada bagian ini tidak secara jelas dan tegas memperlihatkan sikapnya terkait implementasi UU Cipta Kerja pasca pembacaan putusan. Jika MK membiarkan terbukanya celah bagi para pihak untuk menafsirkan putusannya, maka bukan tidak mungkin, Presiden selaku pelaksana undang-undang menganggap UU Cipta Kerja tetap dapat dilaksanakan. Sepanjang bukan merupakan kebijakan strategis dan tidak memiliki dampak yang luas.
Tidak tegasnya putusan MK tersebut pada akhirnya membuat pemerintah memiliki tafsir tersendiri terkait dengan putusan a quo. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa seluruh peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang ada saat ini masih tetap berlaku. Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, pada hari Senin 29 November 2021 (tempo.co, 29/11/2021).
Munculnya pernyataan tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara MK dan pemerintah dalam melihat putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja conditionally inconstitutional. Artinya, undang-undang atau pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi (Asy’ari dkk, 2013). Pembentuk undang-undang harus terlebih dahulu memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK agar dapat menjalankan UU Cipta Kerja. Akan menjadi sebuah persoalan, ketika pemerintah menjalankan sebuah undang-undang yang dinyatakan cacat prosedural oleh MK.
Agar dapat menjadi sebuah undang-undang yang konstitusional, maka MK memberikan tenggat waktu perbaikan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Namun, ketika dalam waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka undang-undang atau pasal-pasal yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Artinya, pasal-pasal yang telah diubah melalui undang-undang a quo pemberlakuannya dikembalikan ke undang-undang sebelum perubahan.
Terlepas dari celah multitafsir dalam putusan MK dan keberlakuan UU Cipta Kerja saat ini, terdapat beberapa hal yang harus dijadikan sebagai prioritas utama oleh DPR bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang. Pertama, membuat dasar legalitas penggunaan metode omnibus legislative technique sebagai pilihan cara untuk melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dibutuhkan karena hingga saat ini, belum terdapat aturan, batasan, mekanisme perubahan, hingga format dari penyusunan sebuah omnibus bill dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kedua, Pemerintah harus menghentikan segala usaha untuk tetap menjalankan UU Cipta Kerja dan aturan-aturan turunannya. Selain pemerintah harus menjalankan putusan MK a quo, juga harus terdapat komitmen untuk melakukan reformasi hukum sepenuhnya. Jika omnibus legislative technique memang berfungsi untuk mengatasi masalah hyper regulation yang terjadi di Indonesia, maka hal utama yang harus dilakukan adalah memasukannya dalam aturan tentang pembentukan peraturan perundang-undang.
Hal lain yang sangat penting untuk dilakukan adalah mempersiapkan format penulisan yang aplikatif dan mudah dipahami oleh masyarakat, serta menerapkan proses yang inklusif dan partisipatif dalam proses legislasinya.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
hemi@theindonesianinstitute.com