Partisipasi Legislasi melalui Petisi Daring

Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada 18 Januari 2022 menambah deret produk hukum yang dilahirkan tanpa harus memakan waktu lama. Pada dasarnya hal ini patut diapresiasi, dengan catatan jika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pembentukannya. Sayangnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti mempersempit ruang partisipasi publik dalam pembentukan UU IKN.

Terburu-burunya DPR dalam mengesahkan UU IKN dapat dilihat dari awal pembentukan Panitia Khusus (Pansus) hingga disetujui bersama dalam Rapat Paripurna yang hanya dilakukan dalam jangka waktu 43 hari. Pembahasan secara kilat terhadap undang-undang tertentu menjadi sebuah kebiasaan baru dalam beberapa tahun terakhir. Hal serupa juga pernah terjadi dalam proses Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Mari kita bandingkan dengan beberapa produk hukum lain—seperti Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—yang telah bertahun-tahun dibahas namun tak kunjung disahkan. Perbedaan tersebut menimbulkan ketimpangan satu undang-undang dengan yang lainnya. Minimnya partisipasi publik juga menjadi salah satu efek samping dari pembahasan undang-undang yang dilakukan secara kilat oleh DPR bersama dengan Presiden.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang. Masyarakat dapat memberikan masukan dalam proses perencanaan program legislasi nasional (prolegnas). Masyarakat juga dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR pada pembicaraan tingkat pertama. Namun, seringkali proses ini hanya melibatkan segelintir orang tertentu yang membuat partisipasi masyarakat hanya menjadi formalitas prosedural.

Perkembangan teknologi bisa dimanfaatkan untuk membuat produk hukum progresif dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih substansial, Tidak hanya menampung pendapat dari beberapa pihak tertentu, namun setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, pandangan, dan kehendaknya terhadap suatu rancangan undang-undang. DPR dan pemerintah dapat mempertimbangkan masukan-masukan tersebut. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah melalui petisi daring (online).

Petisi masyarakat yang dihimpun secara daring sebenarnya telah sering digunakan untuk menanggapi pelbagai kebijakan dan kasus yang terjadi di Indonesia, sebut saja petisi penolakan terhadap revisi UU KPK maupun penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Akan tetapi, DPR maupun pemerintah tidak memiliki kewajiban hukum untuk merespon setiap protes yang dilayangkan oleh publik melalui petisi tersebut.

Ketentuan terkait dengan petisi daring hanya diatur secara terbatas dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan ruang bagi setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, tidak terdapat pengaturan lebih lanjut tentang mekanisme pemberian usulan tersebut, baik dalam bentuk tertulis seperti petisi, hingga bagaimana pemerintah menanggapi dan menindaklanjuti partisipasi publik tersebut. Maka menjadi sebuah kebutuhan untuk membuat sebuah pengaturan khusus terkait dengan mekanisme petisi daring.

Hal tersebut menjadi sebuah kebutuhan untuk dapat meningkatkan partisipasi publik dalam proses perumusan sebuah kebijakan hukum. Petisi daring dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh DPR bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang. Selain itu, juga menjadi salah satu bentuk kontrol sosial dari masyarakat. Pemerintah dapat menggunakan petisi online untuk melihat apakah sebuah rancangan undang-undang dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat. Nantinya mekanisme serupa dapat diadopsi dalam proses pembentukan peraturan lain di bawah undang-undang seperti peraturan daerah yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Kepala Daerah.

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar