Dengan adanya catatan buruk dari desain keserentakan pemilihan umum (Pemilu) di 2019, muncul sejumlah suara dari beberapa pihak yang mengusulkan perubahan pada model keserentakan Pemilu ke depan. Catatan buruk itu, misalnya, berupa kertas suara yang dianggap pemilih terlalu banyak hingga persoalan bobot kerja yang menyebabkan sejumlah penyelenggara ad hoc meninggal dunia. Pewacanaan terhadap alternatif model keserentakaan pemilihan ini bahkan tidak berhenti di tataran perbincangan publik semata.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga sempat menyelenggarakan uji materi terhadap regulasi Pemilu dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 akhirnya ditetapkan, dengan menekankan bahwa penentuan desain keserentakan Pemilu ada di ranah legislatif. MK juga menyajikan enam opsi keserentakan Pemilu yang konstitusional. Opsi-opsi tersebut terangkum dalam tabel di bawah ini:
No. |
Keserentakan Pertama | Keserentakan Kedua | Keserentakan Ketiga |
1. | Pemilihan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD | ||
2. | Pemilihan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Gubernur, Bupati/Walikota | ||
3. | Pemilihan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota | ||
4. | Pemilihan Nasional:
DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden |
Pemilihan Lokal:
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, dan Bupati/Walikota |
|
5. | Pemilihan Nasional:
DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden |
Pemilihan Provinsi:
DPRD Provinsi dan Gubernur |
Pemilihan Kabupaten/Kota:
DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota |
6. | Alternatif lain yang tetap menjaga keserentakan Pemilihan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden |
Sumber: Pertimbangan hukum sub-Paragraf [3.16], Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019
Disayangkan, pilihan-pilihan konstitusional yang disediakan oleh MK tersebut tidak digunakan secara maksimal oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Dengan menggunakan kembali model pemilihan lima kotak, Komisi II seakan tengah mengesampingkan fakta mengerikan terkait adanya 527 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang wafat di sejumlah daerah dalam gelaran Pemilu 2019 lalu (kompas.com, 16/05/2019).
Padahal, dalam Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019: Perihal Para Penyelenggara Pemilu (2019), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mencatat adanya tekanan psikis terhadap petugas di tempat pemungutan suara (TPS) sebagai aspek lain dari beban kerja yang kian memperburuk kondisi penyelenggara ad hoc ini. Namun, hasil konsinyering yang berlangsung antara Komisi II DPR RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Pemerintah di awal Juni 2021 kemarin tetap memutuskan penyelenggaraan pemilihan serentak untuk DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden/Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Walaupun, hari pemilihan untuk Pemilu 2024 tersebut memang masih belum final (tempo.co, 10/6). Sementara, penyelenggaraan Pilkada akan dilaksanakan di bulan November 2024, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Penentuan di Legislatif
Walaupun perbaikan pada teknis penyelenggaraan menjadi pilihan yang paling rasional, KPU tetap saja dihadapkan dengan kebutuhan untuk merubah aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Misalnya saja, wacana pembuatan satu surat suara untuk lima pemilihan di 2024 yang diwacanakan oleh Komisioner KPU Viryan Aziz. Dijelaskan Viryan, metode ini nantinya akan merubah tata cara pemberian suara, dari yang sebelumnya mencoblos menjadi menulis (cnnindonesia.com, 10/6).
Tentunya, perubahan itu perlu diikuti dengan sosialisasi yang masif. Mengingat pergeseran cara ini akan menghentikan asosiasi “mencoblos” yang begitu melekat dengan pemberian suara pada momen pemilihan. Tantangan lain dari penerapan metode menulis ini juga sangat mungkin ditemui dari kondisi buta aksara di Indonesia. Di tahun 2020 saja, angka buta aksara masih ada di 4 persen untuk kelompok usia hingga 15 tahun, 0,8 persen untuk kelompok usia 15 sampai 44 tahun, dan 9,46 persen untuk kelompok usia 45 tahun ke atas (BPS, 2020).
Terlepas dari tantangan penerapan metode pemberian suara dengan menulis, inovasi-inovasi yang berusaha dikeluarkan KPU dalam mengorganisasikan pemilihan menyiratkan esensialnya political will para legislator dari Komisi II DPR-RI. Sebab, terdapat beberapa pasal dalam UU Pemilu yang pada akhirnya harus direvisi. Misalkan Pasal 353 yang menyatakan pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos. Begitu juga Pasal 341 ayat (1) huruf f yang menjelaskan alat untuk mencoblos pilihan adalah perlengkapan pemungutan suara, dan juga Pasal 342 yang menjelaskan konten surat suara Pemilu yang diantaranya memuat foto, logo, dan nomor urut. Maka, kebutuhan untuk melakukan revisi terbatas pada UU Pemilu menjadi tidak terhindarkan.
Dari kondisi yang demikian itu akhirnya kita dapat mengatakan bahwa keberlangsungan desain keserentakan pemilihan di tahun 2024 kelak juga harus didukung oleh kondisi legislator yang mau mengakomodasi perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Hal ini ditujukan tidak lain agar model keserentakan pemilihan akan menghadirkan kemudahan bagi pemilih, di satu sisi, dan menghindari beban kerja yang terlalu berat bagi penyelenggara di TPS, di sisi lain.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
rifqi@theindonesianinstitute.com