Catatan pada Tren Prolegnas Prioritas

Badan Legislasi (Baleg) telah menyetujui 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 (DPR RI, 2021). Tentu, banyak pro dan kontra yang datang dari sejumlah anggota fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada susunan RUU yang ada di daftar tersebut. Konfigurasi dalam RUU prioritas itu juga belum disahkan saat Rapat Paripurna ke-12 Masa Persidangan III di Kamis pekan lalu (DPR RI, 2021). Artinya, kesempatan untuk memberikan sejumlah pandangan, saran, dan kritik terhadap Prolegnas Prioritas masih terbuka lebar. Tidak hanya bagi fraksi di DPR, tetapi juga untuk berbagai elemen masyarakat yang ingin memberikan aspirasinya.

Oleh karena itu, penulis juga hendak memberikan sejumlah catatan pada daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang telah disetujui oleh Baleg. Merujuk pada tren yang ada pada Prolegnas Prioritas di tahun-tahun sebelumnya, tulisan ini hendak menyampaikan preseden yang senyatanya dapat ditanggulangi oleh Parlemen. Tujuannya tidak lain agar DPR mampu menghadirkan penerapan fungsi legislasi yang lebih optimal dibandingkan dengan waktu yang sudah-sudah.

Bagi beberapa kalangan, jumlah total 33 RUU yang terdaftar dianggap sebagai refleksi dari Parlemen yang lebih realistis. Terutama sekali jika dibandingkan dengan jumlah RUU pada daftar Prolegnas Prioritas di beberapa tahun sebelumnya. Namun, apakah angka tersebut benar-benar bisa merepresentasikan Parlemen yang lebih realistis dalam melakukan pengundangan?

Capaian Minimalis

Dalam tujuh tahun terakhir, jumlah 33 terhitung sebagai total RUU dalam tahun priotitas yang paling minim. Bahkan, angka tersebut berada di bawah jumlah rata-rata total RUU dalam Prolegnas Prioritas sepanjang tahun 2015-2020, yang mencapai angka 47 RUU per tahun. Kecenderungan di bawah rata-rata ini juga ditemukan pada susunan Prolegnas Prioritas di tahun 2015 (39 RUU) dan 2020 (37 RUU).

 

Gambar 1. Total RUU dalam Prolegnas Prioritas 2015-2020

Sumber: laman resmi DPR-RI, diolah

 

Mungkin dari kenyataan itulah sejumlah kalangan menangkap bahwasanya pilihan DPR untuk merampingkan jumlah RUU adalah wujud dari sensibilitas pada capaian kinerja yang mungkin diraih. Namun, ketika elaborasi dilakukan secara lebih rinci pada tren ini, sepertinya pilihan yang diambil oleh Baleg masih belum cukup dikatakan sensibel.

Misalnya, ketika kita merujuk pada jumlah RUU yang selesai diundangkan, jumlah paling tinggi ditemukan hanya sebesar 41 persen di tahun 2015. Di tahun itu, sebanyak 16 RUU selesai diundangkan. Namun, angka ini turun secara berjenjang di tahun berikutnya, dan diikuti dengan kemerosotan yang sangat drastis pada tahun-tahun setelahnya.

Sebanyak 15 RUU (30 persen) berhasil diundangkan pada tahun 2016, dan angka ini terperosok ke 10 persen di 2017 (5 RUU), 2 persen di 2018 (1 RUU), 0 persen di tahun 2019 (0 RUU), dan 8 persen di tahun 2020 (3 RUU). Buruknya catatan tahunan tersebut menggambarkan dengan sangat jelas capaian minimalis DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, khususnya terhadap realisasi target RUU prioritas yang setiap tahunnya dipasang.

 

Gambar 2. Tren Prolegnas Prioritas 2015-2020

Sumber: laman resmi DPR-RI, diolah

 

Dari catatan ini, sesungguhnya kita dapat kembali mengajukan pertanyaan. Apakah pilihan untuk menempatkan 33 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 adalah pilihan yang rasional bagi Parlemen?

Jika di akhir tahun nanti persentase keberhasilan Parlemen dalam mengundangkan ternyata mengikuti catatan buruk tahun-tahun sebelumnya, barangkali kita dapat mengonfirmasi bahwa Parlemen, tekhususnya anggota Baleg, tidak menyadari betul kapabilitas mereka dalam menjalankan fungsi pengundangan. Sebab, catatan dalam Gambar 2 di atas memperlihatkan secara terang tidak sinkronnya target pengundangan dengan kesadaran terhadap batas kemampuan para anggota dewan dalam menjalankan peran legislasinya. Akhirnya, performa yang buruk menjadi tradisi tahunan yang selalu melekat pada kinerja anggota Parlemen.

Jika eksepsi pada kondisi krisis kesehatan digunakan untuk menoleransi tren buruk legislasi di tahun lalu, maka Parlemen sudah sepantasnya kembali mengikutsertakan faktor-faktor penghambat tersebut saat menyusun Prolegnas Prioritas 2021. Bukankah kondisi pandemi di tahun lalu hanya mampu menghasilkan capaian sebesar 8 persen dari target RUU prioritas? Oleh karena itu, agar capaian tersebut mengalami kenaikan yang signifikan, maka pengurangan jumlah RUU prioritas di tahun 2021 menjadi alternatif yang sangat realistis.

Terlepas daripada itu, pengurangan pada jumlah RUU prioritas juga akan mengikis kebiasaan buruk Parlemen dalam melakukan carry over rancangan regulasi ke tahun prioritas berikutnya. Kebiasaan ini bahkan dilakukan secara berulang hingga masa akhir jabatan anggota DPR, seperti yang terjadi pada Parlemen di masa jabat 2014-2019 lalu (kompas.com, 1/10/2019).

Biarpun carry over memiliki landasan hukum, bukankah hal itu menggambarkan adanya celah yang cukup lebar antara ekspektasi dan kesadaran akan kemampuaan anggota dewan dalam melakukan tugas pengundangannya? Jelas pula bahwa kebiasaan buruk untuk tidak disiplin dengan target ini menghadirkan kerugikan ke berbagai pihak, yang membutuhkan payung hukum dalam melakukan aktivitasnya.

Singkatnya, penentuan akhirnya akan kembali lagi ke tangan DPR sendiri. Apakah lembaga ini hendak menjadi institusi yang memasang target pengundangan realistis, sembari secara habis-habisan bertarung dalam menentukan prioritas setiap tahunnya? Ataukah DPR hendak menjadi lembaga oase yang menampung begitu banyak kepentingan ke dalam daftar Prolegnas Prioritas, namun selalu gagal dalam mewujudkan targetnya sendiri?

 

Rifqi Rachman,

Peneliti Bidang Politik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

rifqi@theindonesianinstitute.com

 

 

 

 

 

 

 

Komentar