Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi tantangan di Indonesia. Baik di ruang publik maupun ruang privat, kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual masih banyak terjadi. Sementara, satuan pendidikan masih menjadi salah satu tempat yang rawan kekerasan seksual. Padahal seharusnya satuan pendidikan menjadi ruang yang aman dan bebas dari segala bentuk diskriminasi agar semua siswa/mahasiswa dapat belajar dengan maksimal.
Pada 9 Mei 2022 lalu, Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Setelah lebih dari satu dekade masyarakat sipil, akademisi, lembaga negara, dan berbagai pihak lainnya memperjuangkan aturan tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengetuk palu pengesahan rancangan undang-undang tersebut dalam Sidang Paripurna 12 April 2020 lalu. Sebuah langkah yang patut diapresiasi dan dikawal agar aturan tersebut diimplementasikan dengan baik kedepannya.
Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf a UU TPKS tertulis bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang bagi penyelenggaraan pencegahan kekerasan seksual. Aturan tersebut kini menjadi salah satu penguat dari aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup pendidikan seperti Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) dan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbud No. 82/2015).
Walaupun Permendikbud No. 82/2015 telah diteken lebih dari enam tahun yang lalu, namun baru-baru ini masih kita temui berbagai kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Pada tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya ada 18 kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan. Kasus-kasus tersebut terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan Kementerian Agama. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan belum berhasil ditegakkan.
Sementara, dalam upaya menegakkan implementasi Permendikbud No. 30/2021, beberapa perguruan tinggi tampak sudah menyusun peraturan rektor mengenai PPKS dan Satuan Tugas PPKS (tekno.tempo.co, 21/04/2022; tvberita.co.id, 12/05/2022). Namun, salah satu lembaga advokasi kekerasan seksual, Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC), menyatakan bahwa berbagai tantangan masih dialami dalam mendampingi korban kekerasan seksual (termasuk dari kampus) sekalipun telah diterbitkan Permendikbud No. 30/2021 (suarajogja.id, 20/04/2022). Hal tersebut disebabkan banyaknya kampus yang belum siap mengimplementasikan aturan tersebut.
Padahal, menurut Manager Program Pendampingan Rifka Annisa WCC, Indiah Wahyu A, banyak korban sangat berharap pada penanganan kekerasan seksual di kampus. Namun di sisi lain, pihak kampus banyak yang belum siap dalam mengimplementasikan aturan tersebut.
Oleh karena itu, Kemendikbudristek perlu berkomunikasi lebih lanjut dengan satuan pendidikan untuk memastikan agar aturan-aturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual diimplementasikan secara komprehensif. Apalagi hal tersebut merupakan mandat dari UU TPKS. Berbagai pemangku kepentingan lain di dunia pendidikan, seperti Dinas Pendidikan dan Pimpinan Satuan Pendidikan, juga perlu segera merumuskan aturan turunan dari UU TPKS, Permendikbudristek 30/2021 dan Permendikbud 82/2015 agar kasus-kasus kekerasan seksual dapat segera dicegah dan ditangani.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)