Wahyu Dwi Nugroho, seorang pedagang baju muslim di Bogor, divonis bersalah atas dakwaan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat pada sidang tanggal 10 Agustus 2023 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 283/Pid.Sus/2023/PN JKT.SEL (Putusan), terbukti Wahyu melakukan pidana ”dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertetu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan”.
Kejadian dimulai dengan spanduk yang dipasang oleh Majelis Al Busyro di area Majelis Taklim Al Busyro Bogor di mana tertulis “DILARANG BERBELANJA DI SEPUTAR WARUNG AL-BUSYRO, SANKSI AKAN DI BERHENTIKAN DARI MAJLIS TA’LIM”. Wahyu kemudian mengunggah foto poster tersebut ke akun Tiktok @aw_collection50 miliknya dan menambahkan komentar ”sebaik-banyak nya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang2 disekitarnya” dan ”toko kami ga besar, Cuma cukup buat makan sehari2 dan sekolah anak”. Melalui akun TikToknya, Wahyu pun menambahkan komentar atas kejadian yang dialaminya selama bekerja sebagai pedagang di sekitar Warung Al-Busyro, di mana dirinya menjadi salah satu pedagang yang dagangannya dilarang dibeli.
Dalam Putusan, Wahyu menceritakan juga di media sosialnya bahwa di depan tokonya dijadikan parkiran dan kebersihannya tidak dijaga, boleh berjualan di daerah masjid namun harus membayar Rp250.000,00 (dua ratus ribu rupiah), adanya praktik permintaan “sumbangan” dari majelis, dan penutupan jalan jika ada acara. Pihak Majelis Al Busyro yang melaporkan Wahyu adalah Zakiyah, yang dalam kesaksian dalam Putusan menyatakan bahwa komentar akun Wahyu tidak benar dan merupakan fitnah. Zakiyah juga menyatakan dalam kesaksiannya bahwa Majelis Al Busyro merasa terhina oleh komentar akun Tiktok Wahyu, sebagaimana juga disampaikan oleh Alwi Assegaf, pemilik Majelis Taklim Al Busyro dalam kesaksiannya di Putusan.
Dalam Putusannya, Majelis Hakim menyatakan perbuatan Wahyu menciptakan kebencian dan mempengaruhi pandangan terhadap Majelis Al-Busyro di kalangan masyarakat. Majelis Hakim menilai Wahyu memenuhi semua unsur yang melanggar pasal yang dikenakannya. Wahyu divonis selama 5 (lima) bulan dan denda Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dengan ketentuan tidak membayar denda, maka diganti dengan pidana kurungan selama 15 (lima belas) hari.
Berkaca dari kasus Wahyu, Wahyu merupakan salah satu dari sekian banyak korban yang divonis bersalah karena penyalahtafsiran dan penyalahgunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE untuk mengkriminalisasi kebebasan berbicara dan berpendapat. Pasal 28 ayat (2) UU ITE nyatanya telah sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana ketentuan terbarunya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Tindang Pidana atau KUHP terbaru. Namun, KUHP yang terbaru berlaku setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkannya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam Surat “Amicus Curiae” (Sahabat pengadilan) untuk perkara Wahyu (2023) menyatakan bahwa penafsiran “antargolongan”, yang digunakan terlalu digolongkan ke golongan-golongan yang bersifat mikro. Yang seharusnya perlu dimaknai secara sama seperti ”golongan penduduk” di Pasal 156, 156a, dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (eg. golongan Eropa, Tionghoa; Kristen, Islam; Suku Jawa, Bali, etc) menjadi lebih spesifik, yaitu individu, Pemerintah atau lembaga negara, golongan politik, hingga golongan tertentu. Menurut ICJR, pengalaman yang dialami Wahyu dan dituliskan dalam akun TikToknya juga tidak ada unsur membangkitkan rasa kebencian dan tidak dapat dibuktikan adanya “ajakan” atau ”hasutan”. Unsur kesengajaan menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan pun belum dapat dilengkapi menurut ICJR.
Saat ini UU ITE sedang direvisi dalam bentuk Rancangan UU perubahan (RUU ITE). RUU ITE diusulkan pada 17 Desember 2019 dan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Periode 2020 – 2024 yang diusulkan oleh Pemerintah. Berdasarkan rekam jejak yang dipublikasikan di situs Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diperbaharui terakhir pada 28 Agustus 2023, pengerjaan RUU ITE sudah dimulai dan sedang berada dalam tahap pembahasan. Pemerintah dalam artikel resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa diskusi publik untuk RUU ITE berlangsung pada bulan September dan Desember tahun 2022. Dalam proses penyusunan RUU ITE ini, Pemerintah telah membentuk panitia kerja yang dipimpin oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Kominfo) dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan melibatkan Tim Siber Kepolisian Republik Indonesia (Biro Humas Kementerian Kominfo, 2023).
Namun, hingga tanggal 28 Agustus 2023, naskah RUU ITE tidak diedarkan dan pembahasan RUU ITE dilakukan secara tertutup. Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup bukan karena ingin mempertahankan pasal-pasal ‘karet’ yang ada di UU ITE, melainkan karena hal tersebut sensitif dan mencakup kasus beberapa pihak (dpr.go.id, 2023).
Penggunaan Pasal 28 ayat (2) dari UU ITE banyak digunakan dalam berbagai kasus untuk mengkriminalisasi hak kebebasan berbicara dan berpendapat. Oleh karena itu, untuk melindungi hak kebebasan berbicara dan berpendapat warga di ranah digital, pembahasan RUU ITE harus didorong untuk dilaksanakan secara terbuka oleh Komisi I DPR dan Pemerintah dengan mengedepankan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain itu, masyarakat dan lembaga penegak hukum dapat berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mendapat pedoman dalam mengaplikasikan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Preseden terkait dengan pengartian frasa ”antargolongan” juga dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017. Hal ini penting untuk menghargai preseden dan instrumen hukum yang sudah ada dan supaya Pasal 28 ayat (2) ITE yang selama ini disebut sebagai ‘pasal karet’ bisa ditafsirkan secara konsisten sesuai preseden dan instrumen hukum dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan beberapa pihak atau golongan tertentu.
Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com