Pendaftaran calon anggota legislatif yang berlangsung pada tanggal 4-17 Juli 2018 telah usai. Ketua KPU berharap, para caleg yang mendaftar di tingkat manapun dapat mengikuti seluruh ketentuan yang berlaku. Terkait pendaftaran, parpol sudah diberikan akses mendaftarkan calegnya melalui Silon (Sistem Informasi pencalonan).
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh Pusat Pemilu Akses Penyandang Disabilitas (PPUA Penyandang disabilitas), calon anggota legislatif dari kalangan penyandang disabilitas masih sangat minim, tidak lebih dari 30 orang dari semua tingkatan (Pusat Pemilihan Umum Akses, 02/08). Banyak kisah menarik dalam tahapan proses pendaftaran menjadi caleg. Osmiyati A.N Caleg DPR RI Dapil Jawa Timur dari PAN mengaku sempat terbentur syarat kesehatan dari pihak rumah sakit hanya karena pengguna kursi roda, meskipun dokter sudah menyatakan yang bersangkutan sehat secara jasmani dan rohani.
Lainnya, Aden Achmad caleg DPRD dapil Kota Bandung dari PKS yang mengungkapkan ketidakyakinannya untuk mencalonkan diri. Hal yang sama dialami pula oleh Irpan Rustandi Caleg DPRT Dapil Kota Bandung dari Partai Demokrat dan Anni Juwariyah Caleg Provinsi Dapil Kaltim dari PAN. Ketiganya pengguna kursi roda dan sudah malang-melintang di dunia disabilitas, dan yang memberatkan untuk terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan tentang politik termasuk cara untuk bisa terpilih menjadi anggota legislatif.
Dari kisah-kisah yang disampaikan pada pertemuan yang digagas oleh PPUA pada 2 Agustus lalu, penulis mencatat dua poin penting yang menjadi persoalan penyandang disabilitas dan patut disampaikan kepada KPU dan partai politik. Yakni terkait keterangan sehat dan hubungannya dengan penentuan rumah sakit yang direkomendasikan KPU serta, seberapa jauh partai memberikan informasi mengenai segala sesuatu terkait proses pendaftaran caleg yang dapat diakses caleg penyandang disabilitas.
KPU mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 627 tanggal 30 Juni 2018 tentang pengurusan persyaratan caleg yang menyangkut kesehatan jasmani, rohani, dan bebas narkoba. Sebagai dampaknya, KPU kemudian mengeluarkan surat edaran yang berisi daftar rumah sakit rekomendasi. Dari daftar yang tertera, kenyataannya tidak semua rumah sakit direkomendasikan KPU. Rumah sakit yang tidak direkomendasikan oleh KPU dua diantaranya RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dan Rumah Sakit Pertamina (kumparan.com, 01/07/2018).
Ketentuan berupa surat edaran tentu akan membatasi beberapa caleg dalam rangka meminta surat keterangan sehat. Sampai saat ini belum diketahui kriteria rumah sakit yang direkomendasikan untuk mengeluarkan surat keterangan kesehatan. Kriteria ini sangat penting bagi penyandang disabilitas. Sebagaimana pengalaman yang dialami Osmiyati A. N di atas, perspektif tenaga medis, dokter, dan petugas medis lain mengenai penyandang disabilitas ternyata tidak sama. Hal ini bisa berakibat fatal gugurnya pencalonan penyandang disabilitas.
Terkait pemberian informasi seputar pencalonan penyandang disabilitas, KPU pada hakikatnya memberikan keleluasaan kepada masing-masing caleg untuk secara bersama dengan partai pengusung menyusun rencana ke depan terkait kampanye. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana informasi yang diberikan dapat diakses oleh semua ragam penyandang disabilitas?
Dari hasil diskusi dengan PPUA, kenyataan di lapangan mengungkapkan bahwa partai politik memiliki keterbatasan untuk memberikan informasi lebih jauh kepada caleg yang diusungnya tanpa terkecuali kepada caleg penyandang disabilitas. Semestinya partai politik melakukan upaya yang lebih maksimal mendorong caleg penyandang disabilitas agar dapat terpilih. Dari hasil diskusi, terdapat kecenderungan partai politik tidak mau tahu atau tidak peduli dengan kemudahan akses informasi bagi para caleg penyandang disabilitas.
Masih terkait akses informasi, caleg dengan kondisi disabilitas netra, Rahmat S., caleg DPRD Sulbar dari Partai Garuda mengaku bahwa selama ini dirinya memiliki keterbatasan ketika harus menerima informasi seputar pencalonan dirinya sebagai caleg. Sebagai penyandang disabilitas netra, dirinya sangat bergantung pada suara/audio, dan sayangnya tidak semua informasi dapat ia dengar karena sebagian besar masih dalam bentuk tertulis. Untuk menyiasati, ia selalu ditemani pendamping pribadi yang dapat menjembatani untuk mendapatkan informasi lewat tulisan.
Secara keseluruhan, dari serangkaian diskusi yang telah dilakukan, tidak satu pun dari para caleg disabilitas yang mempersoalkan kondisi fisiknya. Semuanya memiliki kepercayaan diri yang besar dan hal ini tentu patut ditiru. Hambatan yang ditemui terkait surat keterangan sehat dan minimnya akses informasi tidak menghalangi mereka untuk maju menjadi caleg menyuarakan hak-hak mereka.
Yossa Nainggolan, Manager Riset dan Program
yossanainggolan@theindonesianinstitute.com