Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Entah apa yang ada di pikiran orang yang tega memperkosa seorang anak perempuan berumur tujuh tahun. Tidakkah dia ‘melihat’ anak perempuannya di sana? Tidakkah dia ‘melihat’ saudara perempuannya di sana? Penulis dan juga sebagian besar kita tentu akan geram mendengar lagi kabar memilukan perihal kasus pemerkosaan yang menimpa seorang anak perempuan di Jayapura, Papua minggu lalu (Kompas.com, 9/10).

Setiap kali mendengar berita perkosaan, perasaan marah pada pelaku dan sedih membayangkan masa depan korban ke depannya selalu terjadi. Namun, bayangan-bayangan suram ini tetap muncul adalah akibat dari belum adanya payung hukum yang bisa memastikan pelaku pemerkosaan dihukum, dan di lain pihak, si korban juga disembuhkan dari luka yang mungkin diderita akibat tindak perkosaan tersebut dan kemudian dipulihkan secara menyeluruh, baik dari fisik, psikis dan juga sosialnya.

Alasan belum adanya payung hukum adalah karena Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2016 belum juga disahkan. Kasus di Papua di atas hanya satu kasus yang mengingatkan kita bahwa kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual itu memang tidak bisa ditunda lagi.

Catatan Tahunan (CATAHU) 2017 Komnas Perempuan mencatat bahwa ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016. Untuk kekerasan seksual di ranah personal, tahun ini perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Di tahun ini juga CATAHU menampilkan data perkosaan dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah personal adalah pacar sebanyak 2.017 orang.

Komnas Perempuan juga mencatat, kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22 persen), dimana kekerasan seksual meenpati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus).

Dalam konteks anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat antara 2010-2014 ada lebih dari 21 juta kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota dengan rincian 42-58 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak dan sisanya kasus kekerasan fisik dan penelantaran anak.

Jika bicara dampak, dampak fisik dan psikis yang dialami oleh korban kekerasan seksual tidak bisa disepelekan. Selain sampai menyebabkan kematian, kasus perkosaan dalam beberapa kasus, korban terpapar beberapa penyakit menular seksual dari pelaku. Di sisi psikis, korban mengalami trauma. Lebih jauh, dampak yang bersifat fisik dan psikis ini potensial akan berlangsung dalam jangka panjang, mengingat si korban yang masih dalam kategori anak-anak.

Menyikapi hal ini, sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dipersiapkan oleh Komnas Perempuan dan pelbagai elemen masyarakat masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2016, sebagai RUU inisiatif DPR. Dalam proses perumusannya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga telah melibatkan beberapa pihak di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk para pendamping. Namun, belum dibahasnya RUU ini di DPR RI menimbulkan pertanyaan akan keseriusan anggota dewan dan pemerintah untuk membuat payung hukum penghapusan kekerasan seksual.

Pertanyaan untuk DPR dan Pemerintah adalah, mau menunggu sampai berapa korban berjatuhan baru mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini?!

 

Penulis: Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com

Komentar