Laporan akhir tahun The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), INDONESIA 2024, yang ditulis Peneliti Bidang Sosial, Dewi Rahmawati Nur Aulia, menganalisis tentang pelaksanaan Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan menggunakan pemikiran Implementasi Kebijakan Edward C. George III (1980) dan upaya yang telah dilakukan dalam mendorong kebijakan tersebut.
Perpres Nomor 9 Tahun 2024 telah disahkan sebagai bentuk respons pemerintah dalam upaya mengatasi peningkatan kasus TPKS di Indonesia. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan (diklat) ini adalah untuk meningkatkan pemahaman terkait dengan pencegahan dan penanganan TPKS. Selain itu, pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) aparatur, terutama aparat penegak hukum (APH) dan tenaga layanan pemerintah dalam penanganan kasus secara efektif dan berkeadilan.
Pasca disahkannya UU TPKS pada tahun 2022, seluruh organisasi kelembagaan, baik yang berasal dari kelembagaan negara, pemerintah maupun dari kelompok masyarakat sipil menyadari pentingnya pelaksanaan diklat penanganan pencegahan TPKS. Diklat yang dilakukan oleh kelompok tersebut merupakan bentuk dukungan kelompok dalam mendorong negara untuk segera melaksanakan Perpres No. 9/2024, meskipun bukan merupakan bagian sebagaimana yang disebutkan dalam perpres tersebut.
Selain itu, meskipun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama dengan organisasi lain yang tergabung dalam Konsorsium Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) telah mengeluarkan sejumlah dokumentasi yang dapat direplikasi, terutama dalam menerapkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP), namun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memerlukan suatu standar yang perlu dibangun dan diterapkan pada seluruh SDM aparatur sebagai peserta diklat.
Dalam upaya pelaksanaan diklat, KemenPPPA dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai institusi yang dimandatkan negara dalam penyelenggaraan diklat tersebut menghadapi sejumlah tantangan, seperti birokrasi organisasi kelembagaan yang memengaruhi koordinasi masing-masing kelembagaan. KemenPPPA sebagai kelembagaan yang diberikan mandat dalam penyusunan instrumen pelatihan (baik modul, kurikulum dan metode), hingga saat ini, masih mengalami tantangan dalam penyusunan instrumen tersebut melalui pembentukan peraturan menteri. Peraturan menteri tersebut penting untuk menjadi landasan sah dan standar rujukan untuk melaksanakan diklat TPKS.
Temuan kajian kualitatif ini mencatat pentingnya koordinasi dan kolaborasi antar kelembagaan, termasuk harmonisasi peraturan terkait, terutama landasan hukum untuk menjadi rujukan standar dalam menyelenggarakan diklat untuk SDM aparatur, termasuk APH, secara optimal.
Selamat Membaca!