Dari masa ke masa, negara selalu dihadapkan pada berbagai tantangan yang berbeda yang mengharuskannya untuk menyesuaikan diri. Negara perlu memperbaiki diri dan melakukan perbaikan-perbaikan sistem. Mengubah pendekatan yang tidak berhasil ke cara yang baru, merupakan hal lumrah bagi negara yang ingin memajukan kesejahteraan rakyatnya.
Namun, belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan wacana untuk mengembalikan konstruksi-konstruksi negara lama seperti naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Dewan Pertimbangan Agung. Wacana Amandemen Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) ke naskah asli UUD 1945. Hal ini dicanangkan La Nyalla Mataliti sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD), dan juga didukung oleh Bambang Soesatyo selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR).
Sejak tahun 2023, Nyalla mengemukakan inisiatif ini dengan alasan hilangnya marwah bangsa Indonesia semenjak amandemen tahun 1999-2002, serta pemilihan presiden secara langsung tidak cocok untuk bangsa Indonesia (dpd.go.id, 28/11/2023). Bambang juga mengklaim dalam beberapa rapat MPR bahwa MPR telah mendapatkan keterangan dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyimpulkan bahwa pemilihan umum secara langsung ’lebih banyak mudaratnya’ daripada baiknya (Harian Kompas, 30/5/2024). Inisiatif untuk mengamandemen UUD 1945 diklaim telah mendapat dukungan dari Amien Rais selaku Mantan Ketua MPR.
Namun, inisiatif ini terhenti setelah pertemuan dengan Presiden Joko Widodo yang menegaskan tidak perlu dilakukannya amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengingat masa jabatan MPR yang sudah hampir habis. Jadi, perlu digarisbawahi, bahwa wacana ini bisa jadi dihidupkan kembali pada MPR periode berikutnya.
Sementara, upaya untuk menghidupkan kembali DPA justru semakin lantang digaungkan. DPA direvitalisasi kembali dengan mengubah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi DPA melalui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. Dukungan untuk menghidupkan kembali DPA ini terinspirasi oleh keinginan untuk membuat presidential club seperti di Amerika Serikat (republika.id, 7/5/2024).
Penghidupan kembali sistem-sistem ini menimbulkan pertanyaan tentang perjalanan sejarah dan hukum tata negara yang melandasi perubahan-perubahan ini. Beberapa kritik menyoroti kurangnya urgensi untuk wacana ini dilakukan, dan cederanya sistem yang akan terjadi jika wacana-wacana ini kembali dihidupkan. Amandemen konstitusi adalah langkah yang wajar untuk menghadapi terpaan perubahan zaman. Namun, amandemen yang tidak mengedepankan rasionalitas tata negara yang baik, urgensi yang berlandaskan kepentingan publik, justru akan menghilangkan kemajuan sistem pemerintahan perlu ditolak.
Pengembalian sistem pemilu menjadi pemilihan tertutup oleh MPR, dengan alasan ketidaksiapan Indonesia dalam melaksanakan pemilihan langsung serta menjauhnya Indonesia dari Pancasila, adalah sebuah sesat pikir. Pemilihan langsung justru merupakan manifestasi dari demokrasi di mana rakyat secara langsung berdaulat untuk memilih pemimpinnya dan salah satu hasil perjuangan Reformasi. Sebaliknya, jika MPR sebagai representasi rakyat diberikan mandat kembali untuk memilih pemimpinnya memiliki risiko kembali kepada kepentingan politik yang tidak selaras dengan kepentingan rakyat, seperti yang terlihat dalam sejarah.
Jika ada masalah dalam sistem demokrasi, yang perlu diperbaiki adalah mekanisme teknis pemilu dan reformasi pola pikir para aktor yang terlibat, termasuk partai politik dan rakyat itu sendiri. Sebaliknya, menyalahkan sistem pemilihan langsung adalah keliru. Budaya money politics muncul karena perilaku korup yang masih merajalela di masyarakat dan dimanfaatkan oleh aktor politik. Sejalan dengan opini Mada Sukmajati, Pengajar Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (2024), lemahnya penegakan hukum terhadap money politics juga menjadi faktor ini. Prioritas utama seharusnya adalah memberantas hal ini terlebih dahulu, bukan justru membolak-balikkan seluruh sistem pemerintahan negara.
Dengan demikian, wacana revitalisasi DPA perlu dikritisi lebih lanjut, karena usulan untuk menjadikannya lembaga setara dengan kementerian tanpa batasan jumlah anggota meningkatkan kompleksitas birokrasi yang tidak efektif dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik. Selain itu, potensi peningkatan anggaran kelembagaan juga perlu dipertimbangkan. Jika tujuannya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, lebih baik tingkatkan kanal partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Dengan memahami dinamika politik terkait Pemilu 2024, wacana terkait konsep DPA tanpa batasan anggota dan klaim dapat diisi oleh berbagai kalangan tidak menjamin representasi opini masyarakat dan partisipasi yang efektif. Untuk itu, pemerintah harus didorong untuk mempertimbangkan dengan bijak sebelum mengembalikan sistem-sistem lama yang telah diubah karena kebutuhan perubahan. Lebih jauh, pemerintah juga perlu fokus pada pemecahan akar masalah dengan pendekatan holistik, yang jauh lebih penting daripada nostalgia tanpa urgensi yang kental kepentingan yang sempit, serta berpotensi membahayakan demokrasi dan cita-cita Reformasi di Indonesia.
Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com