Mencemaskan (Lagi) Persoalan Intoleransi

Peristiwa intoleransi yang diikuti dengan aksi kekerasan kembali terjadi di negeri ini. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Sabtu, 8 Agustus 2020 di Kota Solo. Sekelompok anggota organisasi masyarakat (ormas) melakukan penyerangan terhadap keluarga Assegaf bin Juhri yang sedang melangsungkan acara keluarga (kompas.com, 12/8). Dalam artikel itu pula dijelaskan bahwa sekelompok orang tersebut melakukan intimidasi secara verbal dan menganiaya tiga orang korban.

Para penyerang meneriakkan beberapa kalimat-kalimat provokasi seperti: ‘Kafir, syiah musuh Islam dan darahnya halal’. Kelompok ini mencurigai adanya kegiatan keagamaan, sehingga mereka memaksa untuk membubarkan (gatra.com, 10/8). Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid mengecam aksi penyerangan terhadap keluarga Habib Umar Assegaf yang notabene penganut aliran Syiah (tirto.id, 10/8). Pada artikel ini, Alissa mengatakan, Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif.

Di sisi lain, peristiwa yang terjadi jelang Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75, membuat kita mengelus dada dan cemas akan masa depan kesatuan dalam harmoni di negeri ini. Padahal kebebasan dan kerukunan beragama telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 28 E UUD 1945 mengatur kebebasan beragama dan beribadah. Selanjutnya di Pasal 29 diatur juga tentang jaminan menjalankan agama dan kepercayaan. Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 telah memerintahkan untuk mengakui, menghormati dan memelihara keragaman agama maupun kepercayaan agar tercipta kerukunan antar umat beragama.

Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah berkali-kali mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk saling toleransi. Namun kenyataannya hal ini belum sepenuhnya terwujud. Peristiwa di Kota Solo menambah catatan buram intoleransi di Indonesia.

Berdasarkan data Setara Institute tercatat selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, angka pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih tinggi (kompas.com, 7/1). Dalam artikel itu juga dijelaskan bahwa selama rentang waktu November 2014 hingga Oktober 2019, telah terjadi 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 1.060 tindakan. Dengan rata-rata 14 peristiwa dengan sekitar 18 tindakan pelanggaran KKB setiap bulan sepanjang periode pemerintahan Presiden Jokowi. Selanjutnya, berdasarkan survei Wahid Institute menunjukkan tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, dari sebelumnya sekitar 46% dan saat ini menjadi 54% (mediaindonesia.com, 18/1).

Melihat hal ini, terdapat beberapa tantangan dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Pertama, lemahnya penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum menjadi faktor yang menyebabkan intoleransi masih ada di negeri ini. Pembiaran terhadap kelompok intoleran menjadi wujud lemahnya penegakkan hukum dalam perlawanan terhadap intoleransi di negeri ini. Pemerintah (baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) acap kali takluk terhadap tekanan massa dari kelompok-kelompok intoleran.

Mengutip pendapat Saiful Mujani, bahkan tidak sedikit pula Kepala Daerah maupun legislator di tingkat daerah yang memberi ruang bagi berkembangnya kelompok-kelompok intoleran, dengan harapan dapat mendapatkan dukungan elektoral dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) (suara.com, 19/8).

Kedua, lemahnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat ini belum secara signifikan berperan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Lantaran pembentukkan FKUB masih dianggap formalitas belaka.

Selanjutnya, komposisi keanggotaan dan struktur FKUB berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama. Sehingga masih mencerminkan mayoritas dan minoritas di dalam tubuh FKUB sendiri. Oleh karena itu, melihat persoalan-persoalan tersebut, sejumlah upaya perlu dilakukan.

 Pertama, mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk secara tegas melakukan penegakkan hukum bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian serta pandangan radikal yang dilakukan melalui media sosial.

Kedua, mendesak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama agar memerintahkan Kepala Daerah untuk meningkatkan pemberdayaan FKUB demi meningkatkan kerukunan umat beragama. Ketiga, mendorong Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama memperkuat pemahaman kebangsaan bagi anggota FKUB dalam rangka menciptakan anggota FKUB sebagai tokoh panutan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama dalam ikatan NKRI.

Keempat, mendorong Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Sikap yang menghargai dan menghormati perbedaan merupakan sikap yang sangat penting untuk tersampaikan dan terinternalisasi kepada generasi muda kita saat ini.

Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar