Pemerintahan baru akan segera dibentuk. Presiden Jokowi tengah mempertimbangkan berbagai usulan nama yang masuk. Wacana milenial untuk mengisi jabatan menteri makin berhembus. Namun, kabar yang berkembang tidak berhenti disitu, restrukturasi birokrasi dalam hal ini kementerian juga santer terdengar. Jokowi akan membentuk kementerian baru dan menggabungkan beberapa kementerian dalam kabinet kerja keduanya nanti.
Pentingnya Restrukturasi dan Praktik
Pada dasarnya restrukturasi merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Restrukturasi bertujuan untuk mengefektifkan kinerja suatu Kementerian/Lembaga (K/L). Pada praktiknya, restrukturasi menjadi isu utama dalam reformasi birokrasi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tumpang tindih tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) K/L yang berdampak pada tumpang tindih program. Program yang seharusnya beririsan atau dapat dikoordinasikan satu kementerian namun dikerjakan oleh banyak K/L sehingga belum efektif.
Misalnya saja program penanggulangan kemiskinan yang terwujud dalam Program Indonesia Pintar, Bantuan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dan Program Keluarga Harapan (PKH). Selain tumpang tindih tupoksi, masalah lain yang timbul adalah program atau bantuan tersebut belum sepenuhnya tepat sasaran karena ketidaksamaan data masing-masing pemangku kepentingan.
Restrukturisasi bertujuan agar setiap tupoksi K/L menjadi lebih efektif, tidak ada tumpang tindih dan pada akhirnya membawa keberhasilan pada setiap kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) tidak semua kementerian dapat diubah nomenklaturnya. UUD 1945 Pasal 8 Ayat (3) menyatakan bahawa hanya terdapat tiga kementerian yang tidak dapat diubah nomenklaturnya yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan. Sedangkan kementerian lain dapat diubah atau disesuaikan.
Pada tahun 2014, periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Tim Transisi Jokowi – Jusuf Kalla meminta pertimbangan terkait restrukturasi K/L pada beberapa universitas dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penggabungan beberapa kementerian pun dilakukan antara lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (liputan6.com, 14/08). Selain itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga berubah status menjadi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Restrukturasi diikuti dengan perubahan nomenklatur K/L.
Pada saat itu LIPI juga memiliki rekomendasikan agar menteri koordinator dihapus karena tidak ada pendekatan Konstitusi dan Undang-Undang (news.detik.com, 30/08/2014). Saat itu rekomendasi LIPI tidak dijadikan salah satu putusan. Namun, pada tahun 2019 ini muncul wacana dihapuskannya salah satu kementerian koordinator yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman. Hal itu dilatarbelakangi karena kinerja yang tidak efektif.
Jokowi mengatakan akan membentuk dua kementerian baru pada kabinet periode keduanya, yaitu Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Investasi. Hal itu dilatarbelakangi oleh perkembangan dunia yang begitu cepat dan pemerintah ingin merespons itu secara cepat sehingga ada kementerian-kementerian baru (nasional.kompas.com, 14/08).
Beberapa Hal Harus Menjadi Perhatian
Diketahui saat ini Jokowi tidak memiliki tim transisi sebagai jembatan koordinasi dengan aktor-aktor strategis yang dapat dimintai pertimbangan terkait restrukturasi seperti periode sebelumnya. Jokowi menyampaikan bahwa perubahan yang ada nantinya akan segera diumumkan. Beberapa hal harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan pemangku kepentingan.
Pertama, penguatan peran Presiden sebagai kepala pemerintahan. David Parmenter (2011) diperlukan perilaku yang efektif yaitu komunikasi untuk dapat menopang organisasi. Sebagai pemimpin, komunikasi harus menjadi prioritas utama. Membangun visi dan misi dilandasi kesepahaman menjadi modal utama beriringannya dan berhasilnya setiap program K/L.
Presiden juga harus lebih mendorong kepemimpinan yang efektif, inovatif, dan bersih. Siapapun menteri yang akan menduduki kursi kepemimpinan K/L harus memiliki rekam jejak yang baik, kompetensi, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan serta berwawasan global baik dari partai politik/milenial dan profesional.
Kedua, restrukturasi harus ditopang harmonisasi peraturan perundang-undangan. Adanya tumpang tindih peraturan/kebijakan yang diterapkan di Indonesia membutuhkan harmonisasi. Bagaimanapun, harmonisasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemerintah Pusat sebagai pemangku kepentingan strategis dapat mempertimbangkan pembentukan Tim Percepatan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang tersebar di Indonesia.
Ketiga, evaluasi kinerja K/L harus menjadi prioritas. Setiap kebijakan publik yang diambil merupakan hasil dari sebuah proses politik. Jika dalam implementasinya, setiap kebijakan atau program yang ada tidak sejalan, maka Presiden atau yang diberikan wewenang harus berani menegur bahkan menghapus kebijakan atau program tersebut. Selain itu, berbagai elemen masyarakat juga diharapkan agar dapat bersama-sama melakukan pengawasan dan memberikan masukan secara bijak dan terarah dalam implementasi program-program K/L.
Vunny Wijaya, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research