Rokok Ancam Anak Indonesia, Jangan Tunggu Lebih Parah!

Jutaan anak Indonesia terancam kesehatannya karena konsumsi rokok sejak usia dini. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 4,1 juta (2018) menjadi 5,9 juta anak (2023). Lebih fatalnya lagi, dari jumlah tersebut, 2,6% anak sudah mulai merokok sejak usia 4-9 tahun dan 44,7% di antaranya mulai merokok saat usia 10-14 tahun. Tidak hanya itu, jumlah konsumsi rokok anak turut mengkhawatirkan, di mana sebanyak 72,6% anak usia 15-19 tahun telah merokok setiap hari, dengan konsumsi rata-rata mencapai 8-9 batang per hari, sehingga sangat mengancam kualitas kesehatan generasi penerus bangsa.

Kemudahan akses pembelian rokok bahkan dalam jumlah batangan turut menjadi faktor yang mendasari tingginya jumlah perokok anak di Indonesia. Banyaknya minat terhadap rokok batangan disebabkan karena rokok batangan dijual lebih murah dan tidak membutuhkan persyaratan yang sulit. Buktinya, sebanyak 71,3% remaja mengaku membeli rokok secara batangan dan 60,6% di antaranya tidak pernah dicegah saat membelinya (Kemenkes RI, 2023). Temuan ini menunjukkan bahwa regulasi larangan penjualan rokok batangan yang tercantum pada Pasal 434 PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan maksimal.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa penjualan rokok dilarang untuk menyasar anak di bawah 21 tahun, dijual secara batangan, dijual dalam radius 200 meter dari sekolah, dan dijual secara daring tanpa verifikasi umur. Namun, peraturan tersebut masih sering luput dari implementasi yang baik dan pengawasan aparat. Meskipun kebijakan tersebut sudah berupaya melindungi hak anak, upaya tersebut perlu diperkuat dengan penguatan edukasi publik berbasis komunitas yang penting dimulai dari lingkungan keluarga dan sekolah. Pelibatan orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan tokoh agama menjadi komponen penting yang harus dilibatkan sebagai sasaran edukasi bahaya merokok dan mitra pengawasan regulasi pelarangan penjualan rokok kepada anak.

Tujuan dari pelibatan ini adalah untuk menumbuhkan lingkungan di sekitar anak yang memiliki kesadaran pola hidup sehat, terutama dalam perilaku tidak merokok di sekitar anak. Contohnya, orang tua dan guru yang paham akan bahaya merokok bagi anaknya memilih tidak merokok di rumah dan sekolah untuk dapat melindungi kesehatan anak dari ancaman perokok pasif. Tidak hanya itu, skema edukasi untuk lingkungan anak berperan penting untuk mencegah rantai perokok antargenerasi yang diwariskan ke anak. Harapannya, orang tua dan guru yang teredukasi dapat mengambil peran untuk mencegah anaknya terjerumus ke dalam lingkaran adiksi merokok melalui pemberian contoh yang baik. Skema ini telah terbukti berhasil menurunkan inisiasi merokok pada anak pada studi metaanalisis dan menimbulkan dampak jangka panjang (Husna dan Nurmala, 2024; Alsahli et al., 2025). Selain memberikan edukasi dan contoh baik, penting juga dilakukan pengawasan efektif dan teguran yang informatif dan edukatif, serta kepedulian bersama untuk mengatasi permasalahan ini.

Keluarga menjadi titik kritis intervensi pencegahan rokok yang perlu diprioritaskan pemerintah mengingat tingkat konsumsi rumah tangga saja atas konsumsi rokok sudah melebihi tingkat belanja rumah tangga atas keperluan protein hewani, seperti telur hingga biaya pendidikan anak untuk menambahkan pola hidup sehat (Kemenkes RI, 2025). Anak-anak juga perlu diedukasi secara menyeluruh, terutama melalui metode edukasi yang kreatif, seperti berbasis permainan, tutor sebaya, cerita, karya seni, berkolaborasi dengan perusahaan game, hingga memanfaatkan media sosial yang ramai digunakan anak-anak. Melalui pemahaman risiko merokok yang baik, anak dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab, termasuk dengan tidak mengikuti perilaku merokok yang mereka lihat secara wajar di lingkungan terdekatnya.

Dari segi penindakan iklan, promosi, dan sponsor rokok yang marak, Indonesia sudah memiliki regulasi yang cukup progresif karena sudah mengatur pelarangan iklan rokok di tempat pendidikan, fasilitas umum, serta memberi batasan jam tayang iklan. Namun, implementasi di lapangan masih perlu direalisasikan secara nyata, partisipatif, dan lebih tegas. Termasuk dengan aktif menyosialisasikan aturan ini kepada publik agar mereka terinformasi mengenai mekanisme pelaporan pelanggaran dan mengetahui sanksi yang diatur undang-undang bagi para pelanggar. Dengan demikian, aturan ini memiliki kekuatan yang mengikat dan membuat pelaku jera.

Selain edukasi dan penegakan hukum, Indonesia penting melakukan replikasi pembelajaran keberhasilan penurunan perokok anak pada negara-negara yang memiliki karakteristik serupa dengan Indonesia. Salah satunya adalah mengadaptasi keberhasilan Filipina dan Thailand dalam menurunkan perokok anak berdasarkan studi Asian Development Bank (2023). Filipina berhasil menurunkan prevalensi perokok usia 13-15 tahun dari 12,9% (2007) menjadi 6,7% (2019). Filipina menerapkan cukai secara bertahap dan mengalokasikan pendapatan tersebut untuk layanan kesehatan dan edukasi publik, khususnya terkait bahaya rokok.

Thailand juga berhasil menurunkan prevalensi perokok anak dari 16,7% (1999) menjadi 9,2% (2015) karena melakukan pelarangan iklan dengan sanksi pencabutan usaha dan memasukkan edukasi bahaya rokok ke dalam kurikulum sekolah. Melalui praktik kedua negara ini, Indonesia perlu lebih berani dan aktif memperluas edukasi publik mengenai rokok, serta melakukan kajian kenaikan tarif cukai rokok agar hasil penarikan cukai tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan dan optimalisasi media edukasi publik. Namun, harus ada evaluasi dampak tidak terlihat juga dan dampak penerapan kebijakan ini, serta efektivitasnya dalam menekan konsumsi rokok, terutama untuk anak-anak. Transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci dalam penerapan hal ini, terutama bagaimana cukai rokok dimanfaatkan untuk tujuan yang relevan dengan penerapan kebijakan ini, serta tidak menjadi sumber korupsi dan hambatan terhadap kebebasan ekonomi.

Dengan demikian, agar Indonesia tidak semakin tertinggal dalam penurunan perokok anak, Indonesia perlu memperjelas mekanisme pengawasan pedagang yang masih menjual rokok secara batangan atau melanggar ketentuan undang-undang. Pembuatan satuan tugas pengawas tembakau atau kanal pelaporan publik lintas sektor perlu dilakukan untuk memonitoring konsumsi rokok, jual beli rokok, hingga deteksi pelanggaran iklan dan sponsor. Edukasi bahaya rokok dapat berbasis ekstrakurikuler atau diselipkan pada kurikulum hingga orientasi sekolah perlu digencarkan. Lebih jauh, kajian dampak kenaikan cukai dan harga rokok terhadap perubahan perilaku konsumsi anak juga penting dilakukan untuk merumuskan kebijakan yang terbukti berdampak untuk menekan jumlah perokok anak.

 

Made Natasya Restu Dewi Pratiwi
Peneliti Bidang Sosial – The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
natasya@theindonesianinstitute.com 

Komentar