Cukai Rokok Naik (Lagi)

Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. PMK tersebut mengatur mengenai kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 12,5 persen pada 1 Februari 2021. Kebijakan ini bukan kali pertama dilakukan pemerintah. Berdasarkan data historis, tarif cukai hasil tembakau telah meningkat 62,04 persen sejak tahun 2015, dengan rincian rata-rata pada 2015 sebesar 8,72 persen diikuti pada 2016 sebesar 11,19 persen, 2017 sebesar 10,54 persen, 2018 sebesar 10,04 persen, dan 2020 21,55 persen. Sementara itu, pada 2019, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok (Detik.com, 2020).

Adapun argumen yang menjadi dasar kenaikan cukai rokok setiap tahunnya adalah berkaitan dengan masalah kesehatan yang ditimbulkan dari aktivitas merokok. Selain itu, dampak negatif dari aktivitas merokok juga harus dirasakan oleh masyarakat yang tidak merokok atau disebut perokok pasif akibat paparan asap rokok. Terlebih berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok pada usia anak dan remaja usia 18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen, sementara jumlah perokok perempuan melejit dari 1,3 persen menjadi 4,8 persen (Kuncoro, 2019). Oleh sebab itu, konsumsi rokok harus dikontrol dan diawasi sedemikian rupa guna mengurangi konsumsi rokok, khususnya kepada usia anak dan remaja, serta perempuan guna memitigasi dampak negatif dari rokok.

Cukai Naik, Permintaan Turun?

Lantas, apakah pengenaan cukai rokok mampu membuat konsumsi rokok menurun? Secara sederhana, dalam sudut pandang mikroekonomi, kenaikan tarif cukai rokok akan berdampak kepada kenaikan biaya produksi rokok yang berefek terhadap kenaikan harga jual rokok di pasar. Ketika harga jual rokok menjadi lebih mahal, tentu hal ini berefek terhadap menurunnya jumlah permintaan rokok. Terlebih bagi perokok, cukai dan pajak rokok dibebankan langsung ke konsumen. Hal ini membuat perokok akan menanggung ongkos untuk membeli rokok yang semakin tinggi. Dengan logika berpikir demikian, maka sasaran menurunkan permintaan rokok melalui kenaikan cukai rokok akan tercapai.

Namun, seperti kata Thaler dalam Basri (2020) manusia pada umumnya cenderung tidak rasional, emosional, dan kerap tidak berhitung dalam keputusannya. Kendati, harga rokok sudah meningkat, nyatanya permintaan terhadap rokok tetap saja tinggi. Lebih lanjut, menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan, pengeluaran untuk membeli rokok dalam sebulan mencapai 6,05 persen secara rata-rata nasional. Pengeluaran uang untuk membeli rokok ini lebih besar dibanding uang yang dipakai untuk membeli beras, yakni sebesar 5,57 persen per bulan. Dengan demikian, data ini menunjukkan bahwa rokok saat ini seolah menjadi kebutuhan primer yang urgensinya sama seperti beras. Dengan demikian, karena sifatnya yang primer, maka permintaan terhadap barang ini pun berubah menjadi barang yang bersifat inelastis. Hidayat dan Thabrany (2008) juga menunjukkan bahwa rokok terbukti sebagai produk yang menimbulkan kecanduan. Konsumsi rokok masa depan menunjukan sifat kecanduan miopik, artinya para perokok bersifat tidak rasional. Penelitian ini juga menunjukkan permintaan rokok lebih sensitif terhadap perubahan harga untuk jangka panjang ketimbang untuk jangka pendek.

Dengan sifat barang yang inelastic, maka besaran kenaikan harga rokok tidak akan sebanding dengan penurunan permintaanya. Hal ini dikarenakan masyarakat enggan beralih dari barang tersebut. Artinya, kendati harga rokok meningkat maka masyarakat seolah-olah “memperjuangkan” membeli rokok untuk memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini, menjadi semakin kompleks, terutama di tengah pandemi COVID-19 yang membuat pendapatan masyarakat mengalami penurunan. Namun, karena rokok sudah menjadi barang primer dan bersifat elastis, maka mau tidak mau masyarakat tetap akan mengonsumsinya. Alhasil, jika harga rokok sudah dianggap memberatkan, maka salah satu jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan mencari barang subtitusinya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika konsekuensi tidak langsung kenaikan harga rokok akan meningkatkan permintaan rokok ilegal di masyarakat.

Dengan demikian, alih-alih mencapai target untuk mengurangi permintaan, justru kebijakan ini memiliki implikasi terhadap potensi meningkatnya rokok ilegal. Hal ini juga terbukti secara empiris, bahwa berdasarkan data yang dicatat oleh Direktorat Bea dan Cukai, sepanjang tahun 2020, penindakan terkait rokok ilegal telah dilakukan sebanyak 8.155 kali atau meningkat 41,23 persen dibanding tahun 2019. Artinya, setiap hari, pihaknya telah melakukan sebanyak 25 kali penindakan di seluruh Indonesia (Kompas.com, 2020). Peredaran rokok ilegal justru lebih berbahaya ketimbang rokok legal, sebab konsumen rokok ilegal tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai kadar tar dan nikotin selayaknya yang tercantum pada produk rokok legal. Rokok ilegal pastinya tidak diawasi oleh negara. Proses pengawasan biasanya melalui screening laboratorium dengan kadar kandungan tar dan nikotin yang terstandarisasi.

Pendekatan Behavioral

Dengan demikian, sampai di sini kita menyadari bahwa kenaikan tarif cukai rokok tidak serta merta dapat menurunkan permintaan rokok. Hal ini disebabkan rokok saat ini sudah berubah menjadi ‘kebutuhan primer’ dan bersifat inelastis. Menaikkan harga cukai rokok justru memiliki konsekuensi yang tidak langsung terhadap potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perlu memikirkan skema baru untuk menurunkan konsumsi rokok khususnya kepada remaja di luar cara mainstream dengan pengenaan cukai yang dilakukan Kementerian Keuangan.

Salah satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kebijakan dengan menekankan pendekatan behavioral yang dapat merubah perilaku perokok aktif dengan memberikan “the nudges” dari dalam diri individu/perokok. Sebetulnya, berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) 2019, lebih dari 8 dari 10 (81,1 persen) pelajar yang saat ini merokok pernah mencoba berhenti merokok dalam 12 bulan terakhir. Kemudian, 8 dari 10 (80,8 persen) pelajar yang saat ini merokok ingin berhenti merokok sekarang juga. Dengan demikian, maka langkah yang harus dilakukan oleh Kemenkes adalah dengan mendorong mereka untuk benar-benar berhenti merokok pada hari ini. Misalnya, dengan membuat situasi atau cipta kondisi bahwa kebiasan merokok saat ini sudah tidak popular dan menunjukkan data bahwa saat ini banyak masyarakat yang sudah ingin berhenti merokok khususnya di kalangan pelajar atau usia remaja.

Selain itu, Kemenkes juga dapat bekerja sama dengan kaum muda atau saat ini dikenal dengan influencer/public figure untuk terus mengkampanyekan pesan positif ini sehingga masyarakat menjadi lebih sadar dan menciptakan kondisi kesadaran untuk berhenti merokok dengan melihat perilaku dari influencer tadi. Terlebih, menurut Grinder dalam Aritonang (1997), alasan remaja seringkali tertarik untuk merokok adalah karena melihat perilaku merokok pada orang tua, saudara yang lebih tua, teman-teman dan public figure. Oleh sebab itu, peran influncer/public figure saat ini juga menjadi penting untuk memberikan dorongan penciptaan kondisi berhenti merokok. Sebagaimana yang dikatakan Shoton (2019), bahwa kita sangat dipengaruhi oleh apa yang dilakukan orang lain, terutama yang paling dekat dengan kita untuk berhubungan dengan orang-orang itu. Oleh sebab itu, dengan menciptakan kondisi bahwa merokok di kalangan remaja sudah tidak popular, maka para remaja pun sedikit demi sedikit akan mulai mengikuti tren tersebut.

Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan oleh Kemenkes adalah dengan memperkuat komitmen para perokok aktif khususnya kalangan remaja untuk berhenti merokok dengan bantuan aplikasi yang dirancang khusus untuk program pemberhetian merokok. Aplikasi tersebut akan memiliki fungsi untuk melacak perjalanan mereka dan akan memberi mereka penguatan positif berkelanjutan dalam bentuk berbagai indikator kemajuan kesehatan, pencapaian, serta biaya yang telah mereka hemat sejauh ini. Penting untuk memasukkan berbagai pencapaian jangka pendek dan panjang yang dapat mereka peroleh dari hari pertama, dengan cara itu membuat mereka tetap terlibat dan mendorong mereka untuk melanjutkan proses ini.

Memang perlu adanya upaya anti-mainstream untuk benar-benar membuat kebiasaan merokok khususnya di kalangan remaja untuk berhenti. Terlebih di kalangan seusia mereka, perilaku merokok menjadi seolah menjadi hal yang lazim dilakukan. Oleh sebab itu, pendekatan perilaku diperlukan untuk menangani hal ini alih-alih pendekatan eksternal, seperti pengenaan cukai yang justru berefek tidak langung terhadap persoalan baru seperti peredaran rokok ilegal.

Rifki Fadilah

Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute.

rifki@theindonesianinstitute.com  

Komentar