Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli seharusnya menjadi momen bagi kita untuk melakukan refleksi mengenai sejauh mana pembangunan bagi anak Indonesia selama ini. Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai target program Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030, yang salah satu target utamanya berkaitan dengan pembangunan anak. Oleh sebab itu, penting untuk melihat sudah sejauh mana kemajuan pembangunan anak Indonesia saat ini.
Data menunjukkan bahwa saat ini masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi yakni masih tingginya angka pekerja anak (KPAI, 2020), terlebih lagi saat pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19). Jumlah pekerja anak kembali meningkat karena menurunnya kondisi ekonomi keluarga. Saat pandemi, anak yang seharusnya melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), justru dimanfaatkan oleh sebagian keluarga untuk mempekerjakan anak sebagai upaya menambah penghasilan.
Selain masalah pekerja anak, angka perkawinan anak di Indonesia juga kembali meningkat saat pandemi. Catatan Komnas Perempuan (2021) menunjukkan bahwa angka dispensasi kawin tahun 2020 melonjak tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Tren praktik perkawinan anak saat ini menunjukkan satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia masih melakukan perkawinan anak (BPS, Bappenas, UNICEF, UI, PUSKAPA, 2020). Lebih dari 1,2 juta perempuan usia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun. Sementara, lebih dari 61 ribu perempuan menikah sebelum berusia 15 tahun. Selain itu, jumlah perkawinan anak yang tidak tercatat oleh negara, juga menambah polemik mengenai hal ini.
Kondisi pekerja anak dan pemaksaan perkawinan pada anak dapat berpengaruh pada faktor lain, seperti pendidikan dan kesehatan anak, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada masa depan anak dan masa depan bangsa. Anak yang bekerja dapat tertinggal dari teman-temannya di sekolah dalam hal kehadiran dan nilai pelajaran, karena anak tidak maksimal dalam belajar. Bahkan fenomena pekerja anak dapat menyebabkan seorang anak menjadi putus sekolah.
Begitu juga jika seorang anak dipaksa untuk menikah. Anak yang menikah akan otomatis berhenti sekolah, karena hingga saat ini, sistem pendidikan formal di Indonesia belum memiliki kebijakan yang memungkinkan anak untuk terus sekolah walaupun sudah menikah. Sampai saat ini, total jumlah anak yang tidak bersekolah di Indonesia sebanyak 4,3 juta anak (UNICEF, 2021), yang disebabkan oleh kedua faktor di atas dan adanya keterbatasan akses anak untuk sekolah.
Pernikahan dini selain berakibat pada menurunnya kualitas pendidikan anak juga berakibat buruk pada kesehatan calon anak dan anak itu sendiri. Seorang anak yang melakukan pernikahan dini, fisik dan mentalnya akan dipaksa untuk tumbuh lebih cepat dibanding anak lain yang tidak menikah dini. Terlebih jika setelah menikah, anak tersebut mengalami kehamilan. Kehamilan yang terjadi pada anak secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting, wasting (kurus), serta underweight (gizi kurang) Sagurti (2010). Proses kehamilan dan persalinan pada anak perempuan dan calon anak juga berpotensi lebih besar untuk mengalami kematian (UNICEF, 2020). Sedangkan fenomena stunting, wasting, dan underweight pada calon anak tidak dapat dilihat secara terpisah dengan keberhasilan pembangunan di masa depan.
Rekomendasi
Masih kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia hingga saat ini menunjukkan bahwa kita masih jauh dari target SDGs. Oleh karena itu, berikut beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembangunan untuk anak.
Terkait dengan penghapusan pekerja anak, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dapat memberikan pelatihan bagi orang tua atau keluarga anak, agar mereka dapat bekerja dan berhenti mempekerjakan anak. Kemnaker juga harus memastikan apakah anak yang bekerja tersebut sudah mendapat bantuan di bidang pendidikan dari pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH). Selanjutnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu meningkatkan jumlah besaran bantuan PKH, mengingat bantuan tersebut berfokus pada peningkatan pendidikan dan kesehatan anak, yang merupakan kebutuhan dasar anak. Jika kebutuhan pendidikan anak dapat tercukupi, maka angka pekerja anak dapat dihilangkan.
Terkait dengan perkawinan anak, hakim di pengadilan harus lebih tegas dalam pengabulan dispenasi kawin. Tingginya pengabulan dispensasi kawin menunjukkan tidak tegasnya penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat juga harus mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, karena di dalamnya juga mengatur mengenai pemaksaan perkawinan pada anak.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)