Rapuhnya Mekanisme Rekrutmen Partai Politik

asrul-ibrahim-nurTahapan Pemilu 2014 terus bergulir, setelah proses verifikasi yang menghasilkan sepuluh parpol yang akan menjadi kontestan, maka tahapan selanjutnya adalah penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg). Proses ini akan dimulai pada bulan April dan kemudian akan ditetapkan pada Agustus 2013.

Geliat tahapan ini mulai terlihat, jelang pendaftaran caleg banyak parpol yang melakukan manuver untuk merekrut berbagai macam kalangan untuk menjadi caleg yang akan bertempur di Pemilu 2014. Berbondong-bondong kalangan artis menyatakan akan menjadi caleg dari suatu parpol tertentu, tidak ketinggalan mantan birokrat yang memilih pensiun dini untuk berkiprah dalam politik praktis, selain itu para pengusaha juga ikut meramaikan bursa caleg ini.

Rekrutmen instan ini menunjukkan rapuhnya sistem rekrutmen parpol di Indonesia. Rekrutmen politik hanya dibatasi untuk mengisi daftar caleg menjelang pemilu. Alhasil nantinya mayoritas anggota legislatif terpilih bukan berasal dari kader yang benar-benar paham garis perjuangan partai, melainkan kader karbitan yang sengaja direkrut hanya untuk menghadapi momentum pemilu.

Pasal 29 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebenarnya telah memberikan panduan bagi parpol mengenai rekrutmen dan kaderisasi politik. Ketentuan tersebut menekankan proses rekrutmen serta kaderisasi politik harus demokratis dan sesuai dengan AD/ART parpol, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaan mendasar adalah apakah masing-masing partai memiliki sistem kaderisasi yang mapan? Jika jawabannya positif, maka semestinya rekrutmen caleg secara instan tidak dilakukan oleh partai tersebut. Lain halnya jika jawabannya adalah negatif, dengan demikian partai yang melakukan rekrutmen caleg dengan instan sudah jelas tidak memiliki sistem yang mapan dalam rekrutmen politik sekaligus kaderisasi.

Alternatif lain dapat diduga bahwa partai tersebut memang tidak memiliki sistem rekrutmen dan kaderisasi politik sama sekali. Kebutuhan pengisian jabatan di internal partai maupun jabatan publik dilakukan secara instan dengan melibatkan kader-kader karbitan. Jika siklus ini terus menerus terjadi, maka salah satu fungsi partai yaitu rekrutmen politik akan mengalami disfungsi akut.

Efek negatif hal tersebut adalah semakin antipatinya masyarakat terhadap keberadaan parpol. Partisipasi politik masyarakat hanya bersifat memberikan suara saat pemilu, kurangnya masyarakat yang menjadi anggota aktif parpol sangat mungkin disebabkan karena persepsi “percuma menjadi kader parpol, toh nantinya kebanyakan yang akan dicalonkan adalah artis atau pegusaha saja”.

Sesuai dengan amanat UU Parpol, memang sebaiknya setiap parpol memiliki mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik yang mapan. Jenjang kaderisasi harus jelas dan memiliki indikator yang dapat diukur. Jika mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik dalam tiap parpol sudah mapan maka siapapun dapat memiliki kesempatan yang sama untuk dicalonkan menjadi pejabat publik.

Artis, pengusaha, buruh, atau bahkan penarik becak sekalipun, yang mengikuti jenjang kaderisasi parpol dari awal, seharusnya berhak mendaftarkan diri sebagai caleg atau pejabat publik lainnya untuk diajukan oleh parpol terkait. Parpol bukan hanya menjadi kendaraan politik, tetapi juga menjadi lembaga pendidikan politik dan ideologi bangsa.

 

Asrul Ibrahim Nur –Peneliti Yunior Bidang Hukum The Indonesian Institute asrul.ibrahimnur@yahoo.com

Komentar