Foto Antara

Premi BPJS Kesehatan Harus Naik

Kenaikan tarif iuran PBI akan berlaku tahun depan melalui APBN 2020. 

JAKARTA (HN) – Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan premi iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) disambut baik. Kenaikan premi merupakan keniscayaan untuk mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan.

“Premi kita ini masih tergolong rendah dibanding Vietnam. Di sana premi terendahnya itu sekitar Rp 37 ribu,” kata Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Vunny Wijaya di Jakarta, Rabu (24/7).

Ia juga berharap pemerintah mempertimbangkan kenaikan premi bagi peserta non-Penerima Bantuan Iuran (non-PBI) yang membayar secara mandiri. Menurutnya, defisit BPJS Kesehatan tidak hanya dialami Indonesia, negara lain seperti Taiwan juga mengalaminya. Dua negara ini memiliki penyebab yang sama dengan jumlah pasien penyakit berat terus bertambah. Karena itu, upaya yang dapat diambil ialah menaikkan premi secara berkala.

“Premi BPJS Kesehatan naik itu sudah risiko. Mau tidak mau harus kembali pada prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan yaitu kegotongroyongan,” ujarnya.

Dalam hal ini, peserta menjadi ujung tombak keberhasilan dan keberlanjutan program BPJS Kesehatan. “Saya sangat berharap Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan para pemangku kepentingan terkait dapat segera memutuskan jumlah kenaikan premi. Jika tidak, hal ini akan berimbas pada pelayanan kesehatan yang diberikan untuk pasien,” kata Vunny.

Adanya BPJS Kesehatan telah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat dengan jumlah pasien secara signifikan naik. Termasuk biaya yang dikeluarkan juga semakin meningkat, salah satunya untuk mengobati penyakit berat seperti jantung dan kanker.

Namun, defisit BPJS Kesehatan terus meningkat. Suntikan dana tambahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum mampu mengatasi defisit. Pada akhir tahun 2019, defisit diperkirakan mencapai sekitar Rp 28 triliun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar senada. Ia mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejalan dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. “Memang Perpres 82/2018 mengamatkan iuran itu kan ditinjau maksimal 2 tahun. 2016, 2017, 2018 harusnya naik. Tapi kan tidak dijalankan oleh pemerintah,” ujarnya.

Kenaikan premi tersebut secara langsung akan menambah pemasukan iuran untuk BPJS Kesehatan dan pada saat bersamaan menurunkan tingkat defisit. Meski demikian, defisit tidak selesai dengan hanya menaikkan iuran, ada banyak faktor penyebabnya.

“Kalaupun pemerintah menaikkan hutang iuran tetapi tidak disertai dengan hutang iuran ditarik, float-float tidak dibenahi, maka akan terjadi lagi. Jadi, tetap kenaikan iuran itu sangat dibutuhkan, tetapi yang lain-lain juga dibutuhkan supaya defisit itu bisa teratasi secara sistem, tidak secara kebijakan,” kata Timboel.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya memastikan akan menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Selain itu, pemerintah juga akan menambah jumlah peserta PBI menjadi di atas 100 juta penerima, dari saat ini 96,8 juta penerima. Namun, masih butuh waktu untuk mematangkan rencana tersebut. Pemerintah perlu menunggu hasil audit laporan keuangan BPJS Kesehatan secara menyeluruh dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Kami sudah mulai mempertimbangkan untuk menaikkan iuran yang dibayarkan melalui PBI, dari sekarang ini Rp 23 ribu per orang menjadi lebih tinggi lagi, tapi belum ditetapkan. Namun, sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan (iuran),” ujarnya. Kenaikan tarif iuran PBI yang bakal ditanggung pemerintah akan berlaku tahun depan melalui APBN 2020.

Sumber: Hariannasional

Komentar