Foto Tempo.co

Iuran Naik, BPJS Kesehatan Diminta Segera Atasi Moral Hazard

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Vunny Wijaya, menyatakan bahwa sedari awal pelaksanaan BPJS Kesehatan telah diwarnai banyak catatan merah.

Vunny menilai pada awal pelaksanaan BPJS Kesehatan, pelayanan dan Fasilitas Kesehatan (Faskes) belum seluruhnya siap. “Sehingga defisit tak terhindarkan juga terjadi setiap tahun. Menuju akhir tahun ini defisit diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 21 November 2019.

Menurut Vunny, pada dasarnya, berbagai landasan hukum dan peraturan berkembang agar BPJS Kesehatan memiliki mekanisme pengelolaan dan implementasi yang jelas juga transparan. Namun, badan penyelenggara belum sepenuhnya komitmen menjalankan dan menyosialisasikan berbagai peraturan tersebut.

“Misalkan saja Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Pasal 16I peraturan itu disebut, besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan dengan Perpres,” tutur Vunny.

Menurut Vunny, pada praktiknya, tinjauan besaran iuran yang dilakukan dua tahun sekali melalui perhitungan aktuaria tak kunjung diterapkan. Dampaknya, besaran iuran melonjak begitu tinggi untuk kelas I dan II.

“Iuran peserta mandiri Kelas I yang semula Rp 80 ribu naik jadi Rp 160 ribu. Kelas II dari Rp 51 ribu naik jadi Rp 110 ribu. Untuk kelas II bahkan naik hingga lebih dari 100 persen,” kata Vunny.

Vunny juga menilai, dari segi peserta, timbulnya moral hazard juga tidak bisa dihindari. Moral hazard itu tampak ketika banyak masyarakat mendaftar dan membayar BPJS Kesehatan sebelum atau saat menjalani perawatan saja. Setelah itu, mereka tidak lagi rutin membayar.

BPJS Kesehatan, tutur dia, perlu mencari strategi yang tepat dalam mengatasi moral hazard. Jika tidak, justru akan membuat siklus keuangan makin berdarah-darah.

“Misalnya, dengan melakukan sosialisasi yang lebih tentang manfaat BPJS Kesehatan dan mendorong kepatuhan dan kedisiplinan membayar. Peraturan terkait sanksi yang telah ada juga patut dikaji karena tidak menimbulkan kedisiplinan peserta.”

Menurut Vunny, BPJS Kesehatan perlu melakukan evaluasi dan pembenahan secara serius dari segi internal, termasuk transparansi dan sosialisasi kepada masyarakat Selain itu, BPJS Kesehatan juga perlu lebih matang dalam melakukan perhitungan iuran agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan target penggunanya.

“Ketika iuran nanti naik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga perlu semakin giat mendorong pemerataan akses dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia, serta meningkatkan mutu tenaga kesehatan,” tuturnya.

Upaya mendorong subsidi yang digagas Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, menurut Vunny, bagi kelas III sebisanya juga dipertimbangkan dengan baik oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dengan tetap mempertimbangkan juga kondisi ekonomi dan keuangan negara. Hal ini penting untuk mencegah kebijakan yang populis dan tidak realistis untuk ditanggung negara.

Terakhir, Vunny berharap Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai pemegang data dapat melakukan cleansing data peserta BPJS Kesehatan secara rutin agar pengawasan dan kepesertaan lebih tepat sasaran.

Sumber: Tempo.co

Komentar