Isu seputar pendidikan adalah salah satu isu sentral bukan hanya karena menyangkut banyak pihak tetapi juga yang lebih penting adalah bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan seorang individu berikut masyarakat dan bangsanya.
Dalam konteks Indonesia, beberapa waktu lalu diperbincangkan hangat wacana dari Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (Mendikbud) Bapak Muhadjir Effendy tentang sekolah sehari penuh bagi siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Belum ada kebijakan konkret terkait wacana ini. Kemudian mulai menyeruak lagi wacana lain yaitu mengenai penghapusan sistem ‘Pekerjaan Rumah (PR)’ bagi siswa.
Wacana penghapusan PR ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak tahun 2011 isu ini sudah berkembang juga. Alasan isu ini hadir adalah beranjak dari keprihatinan beberapa pihak yang menilai bahwa memberikan PR artinya memberi beban tambahan pada siswa. Beban pelajaran-pelajaran selama di sekolah dirasa sudah cukup. Waktu di rumah adalah untuk berinteraksi dengan keluarga dan proses belajar di rumah pun seharusnya adalah proses belajar yang sukarela, tidak dibebani kewajiban.
Di kalangan siswa juga ada pro kontra terkait pemberian PR ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa PR perlu agar mereka punya aktivitas di malam hari dan bukannya keluyuran. Sebagian yang lain yang menolak memang menganggap PR menjadi beban tambahan mereka. Alasan lainnya adalah PR sering kemudian tidak dikerjakan oleh siswa tetapi oleh orang tua dan sering juga PR dikerjakan di sekolah dengan ‘menyontek’ pekerjaan teman lain.
Pihak yang menolak intinya beranggapan bahwa evaluasi pelajaran seharian di sekolah tak melulu harus mengerjakan soal yang dibawa pulang ke rumah. Metode evaluasi bisa sangat beragam, dengan ‘PR’ praktek dan atau simulasi lain.
Dalam ranah kebijakan, hal menarik terkait metode evaluasi lain selain PR ini datang dari Kabupaten Purwakarta. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi melarang sekolah-sekolah di Kabupaten Purwakarta memberikan PR bagi siswa-siswanya. Larangan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) No 421.7/2014/Disdikpora tentang Pemberian Tugas Kreatif Produktif Pengganti Pekerjaan Rumah dan Larangan Penyelenggaraan Karya Wisata.
Dari edaran ini disebutkan eksplisit bahwa PR yang diperbolehkan adalah PR yang bersifat penerapan ilmu yang diajarkan di sekolah dan bukannya PR-PR yang sifatnya materi pelajaran. Contoh PR penerapan ilmu itu misalnya para siswa disuruh membuat tempe atau membuat es batu sebagai aplikasi ilmu fisika perubahan benda cair ke padat dan contoh-contoh lainnya.
Penulis sependapat jika dikatakan bahwa beban pendidikan tidak bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental siswa sendiri. Artinya, kebijakan dan metode yang diambil untuk mengevaluasi pemahaman siswa haruslah kreatif yang kemudian juga menumbuhkan nilai-nilai kreatif pada diri siswa.
Namun di sisi lain, Penulis menyadari bahwa metode PR akademik yang sudah berlangsung lama di Indonesia, tentu tak bisa serta merta langsung dihilangkan. Maka, perlu dikaji apakah perlu didahului dengan ‘pembatasan’ pemberian PR akademik misalnya. Seperti yang diterapkan di beberapa negara bagian Amerika Serikat, mereka membuat kebijakan pembatasan pemberian PR ini (Time.com, 30/08). Misalnya untuk siswa SD hanya 10 menit per hari, siswa SMP 20 menit per hari dan siswa SMA 2 jam per hari.
Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah bagaimana kebijakan tidak membuat siswa ‘takut’ belajar karena merasa terbebani tapi ‘mencintai’ belajar karena mereka merasakan banyak hal menarik yang mendorong mereka untuk berkreasi.
Akhirnya, wacana (berulang) penghapusan PR ini perlu dikaji lagi. Hal ini perlu dan harus dilakukan jika mencetak manusia Indonesia yang cerdas secara intelejensia dan cerdas secara emosional adalah tujuan. Perlu dicari bentuk yang pas untuk kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural. Perlu pelibatan tenaga pengajar, orang tua dan masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang tepat guna. Persoalan PR secara khusus dan pendidikan secara umum, pada hakikatnya adalah ‘Pekerjaan Rumah’ semua elemen bangsa.
Penulis: Lola Amelia, lola@theindonesianinstitute.com