Beberapa waktu belakangan ini, ramai dibicarakan publik mengenai beredarnya rekaman suara Panglima TNI Gatot Nurmantyo pada acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat 22 September 2017. Pada acara tersebut, Panglima TNI menyebutkan berdasarkan laporan intelijen yang ia terima, ada upaya pembelian 5.000 pucuk senjata yang dilakukan oleh institusi nonmiliter. Selain itu, dalam rekaman tersebut, Panglima TNI juga menyatakan melarang bagi pihak Kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak peralatan perang TNI, jika ada maka ia tegaskan untuk menyerbu institusi tersebut (Tempo.co, 24/9/17). Sontak saja pernyataan Panglima TNI ini mengundang kontroversi dan polemik di ranah publik.
Walaupun tidak lama berselang, sebagai upaya meredam dan agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto meluruskan pernyataan Panglima TNI tersebut. Wiranto menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Wiranto juga mengatakan bahwa pokok persoalannya ada pada miskomunikasi antara Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kapolri tentang pengadaan 500 pucuk senjata bagi Sekolah Intelijen Negara (politik.rmol.co, 24/9/17).
Menanggapi pernyataan Panglima TNI tersebut, penulis mencoba melihat dari sisi hubungan sipil dan militer. Berdasarkan pendekatan hubungan sipil militer, penulis menilai bahwa pernyataan Panglima TNI merupakan wujud intervensi militer terhadap otoritas sipil. S. F. Finer (1998) menyatakan intervensi dapat dilakukaan melalui; (1) melalui saluran-saluran konstitusi normal; (2) kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil; (3) intimidasi terhadap otoritas sipil; (4) mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan terhadap otoritas sipil; (5) gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan; dan (6) menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil.
Kemudian ada dua faktor penyebab militer melakukan intervensi yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Pada faktor internal menurut S. F. Finer (1998), faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan melakukan intervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.
Sedangkan dari sisi faktor eksternal Amos Perlmutter (2000) menyebut ada dua kondisi yang memberikan kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi. Pertama, kondisi sosial. Suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif dan dengan demikian kontrol sosial tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, maka militer memiliki peluang untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Dalam banyak kasus kembalinya militer masuk ranah sipil dikarenakan kelompok sipil yang meminta dukungan kepada militer, ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak berjalan.
Berdasarkan pendapat diatas, penulis melihat pernyataan Panglima TNI merupakan bentuk intervensi. Alasannya adalah pertama, dalam persoalan adanya informasi 5.000 pucuk senjata, penulis menilai seharusnya Panglima TNI dapat berkoordinasi dan melakukan konfirmasi kepada pemegang otoritas yaitu Kementerian Pertahanan terkait adanya informasi pengadaan senjata tersebut. Karena berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan, Pengendalian Senjata Api di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI, kewenangan perijinan berada di Kementerian Pertahanan, bukan di dalam institusi TNI.
Sehingga pada pernyataan Panglima TNI tersebut seakan adanya ketidaksinkronan antara Kementerian Pertahanan dengan TNI. Padahal seharusnya TNI dan Kementerian Pertahanan berjalan seiring. Bukan malah menjadi pesaing dalam hal otoritas.
Kedua, adanya pernyataan terhadap institusi Polisi, jika memang demikian ada permasalahan tersebut, tentunya hal itu seharusnya diselesaikan dibawah kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Bukan dengan “penyerbuan” seperti yang dikatakan Panglima TNI.
Kemudian penulis juga melihat bahwa faktor ekternal seperti yang dikatakan Amos Perlmutter diatas menjadi pemicu utama intervensi militer ke ranah sipil di Indonesia. Terutama pada kondisi politik jelang memasuki tahun politik di 2019 nanti. Oleh karena itu menurut penulis, Presiden Joko Widodo harus segera memperkuat konsolidasi pemerintahannya, dengan tetap menjaga aturan main sesuai konstitusi yang berlaku.
Kemudian yang terakhir, jelang tahun politik seperti saat ini akan menjadi ujian bagi institusi TNI. TNI harus tetap menjaga komitmennya dalam menjalankan reformasi TNI sebagai upaya menjadikan TNI sesuai jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com