TNI Bergerak Mengendap-Endap ke Politik

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin telah menyampaikan dalam wacana usulan perbaikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa akan ada 15 posisi kementerian dan lembaga yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif. Kementerian dan lembaga (K/L) usulan ini, yaitu: 1. Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara; 2. Pertahanan Negara; 3. Sekretaris Militer Presiden; 4. Inteligen Negara; 5. Sandi Negara; 6. Lemhannas; 7. Dewan Pertahanan Nasional; 8. Search and Rescue (SAR) Nasional; 9. Narkotika Nasional; 10. Kelautan dan Perikanan; 11. BNPB; 12. BNPT; 13. Keamanan Laut; 14. Kejaksaan Agung; dan 15. Mahkamah Agung (tempo.co.id, 12/03/2025).

Jumlah 15 K/L ini lebih banyak dari yang sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yaitu kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.

Kontroversi prajurit aktif yang terlibat dalam politik ramai mencuat kembali dalam pemerintahan Presiden Prabowo sejak Letnan Kolonel (Letkol), yang sebelumnya akrab dikenal saat berpangkat Mayor, Teddy Indra Wijaya diangkat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Pengangkatan ini dilakukan dengan dalih bahwa Letnan Kolonel Teddy menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pengangkatan Letnan Kolonel Teddy telah menimbulkan disrupsi di pemerintahan dan internal TNI itu sendiri.

Lampu hijau yang diberikan oleh Presiden Prabowo dan divalidasi oleh kabinetnya memberikan citra bahwa prajurit aktif boleh, dan akan, kembali lagi dalam pemerintah. Sebagai negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil, UU TNI sudah mengatur jelas bahwa TNI aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil. Pengecualian untuk beberapa jabatan tinggi juga sudah ada jelas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang sudah dijelaskan sebelumnya. Seharusnya, siasat dan tindakan di luar pengaturan ini tidak ditindaklanjuti.

Usulan TNI untuk dapat mengisi beberapa jabatan sipil baru ini berlawanan dengan semangat Reformasi 1988. Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono juga selalu konsisten menekankan ini (kompas.id, 23/2/2025). Tidak hanya sebagai salah satu aktor yang berperan dalam Reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masanya (tempo.co, 22/5.2024; Suetha, Wahyudi & Purnomo, 2021), tetapi juga sebagai purnawirawan yang memegang teguh prinsip supremasi sipil dan tentara profesional sebagai jati diri TNI. Nilai ini juga dicerminkan lewat pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono yang harus pensiun dini dari karirnya di TNI untuk terjun di dunia politik (Liputan6.com, 23/9/2016).

Jika wacana untuk memperluas kesempatan TNI menjabat di jabatan sipil ini disetujui, hal ini mencerminkan bagaimana TNI sukses perlahan-lahan mengembalikan posisinya ke pemerintahan. Tidak lagi secara senyap, tetapi sekarang dengan mengambil langkah legalitas melalui undang-undang.

Undang-undang jika disalahgunakan bisa menjadi alat untuk menguntungkan beberapa pihak saja atau mengakomodir kepentingan politik tertentu. Dengan modal dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui oleh Presiden, undang-undang sudah siap disahkan ke publik dan mengikat seluruh rakyat Indonesia. Mungkin hari ini diusulkan 15 K/L yang bisa dimasuki oleh TNI aktif. Namun, di masa mendatang, bisa jadi juga ketentuan ini dicabut sepenuhnya. Berbekal hanya dengan kesepakatan antara DPR dan Presiden, hal seperti ini akan bisa diwujudkan jadi undang-undang tanpa pelibatan publik yang bermakna. Seperti yang terjadi dalam RUU lain.

Ungkapan lisan politisi bahwa kehadiran TNI aktif di pemerintahan tidak akan mengembalikan Indonesia ke zaman Dwifungsi ABRI tidak memiliki nilai apapun, karena tidak ada jaminan apa pun yang mengiringinya. Kebijakan terus berubah, terutama dengan situasi komunikasi politik pemerintahan saat ini yang kurang begitu baik. Akuntabilitas kebijakan ini menjadi satu hal yang hampir tidak mungkin terwujud ketika transparansi pengambilan keputusannya juga tidak ada.

Kita semua harus belajar dari sejarah dan berkomitmen untuk amanah dan berintegritas dalam menerapkan demokrasi sebagaimana telah diperjuangkan sejak zaman Reformasi tahun 1998. Jangan justru kita kembali mundur semakin jauh dengan realita dan dinamika politik, demokrasi, dan kebijakan selama ini. Seharusnya orang-orang yang sekarang menjabat di pemerintahan maupun parlemen paling mengerti hal ini dan tidak mau, serta mencegah hal ini terjadi. Sayangnya, justru amanah Reformasi 1998 semakin diabaikan dengan begitu telanjang dan tidak tahu malu, bahkan dengan justifikasi bahwa proses kebijakan yang dilakukan sudah dilakukan secara demokratis. Padahal, kenyataannya sangat berseberangan dan lebih menegaskan betapa semakin parahnya demokrasi di Indonesia, termasuk lewat perluasan TNI di jabatan sipil.

Wacana untuk perluasan jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif harus dihentikan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat seharusnya memutar otak untuk semakin baik menjaga marwah demokrasi, bukan justru mencari cara untuk mengkompromikannya secara cerdik dan licik. Apalagi, dengan menggunakan alasan menolak intervensi sipil terhadap militer. Sementara, kenyataan saat ini terang benderang terjadi di depan mata.

 

Christina Clarissa Intania – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute

christina@theindonesianinstitute.com

Komentar