Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), MKD dibentuk dengan tujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Dalam rangka menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, MKD diberi tugas untuk melakukan pemantauan serta penanganan terhadap dugaan adanya pelanggaran atas kewajiban yang diatur di dalam UU MD3 serta peraturan DPR yang mengatur mengenai tata tertib dan kode etik.
Pada pertengahan hingga menjelang akhir tahun 2015 ini MKD mendapat tantangan yang serius. Pertama penanganan kasus etika yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dan wakilnya Fadli Zon ketika berkunjung ke Amerika Serikat (AS) dan menyempatkan hadir dalam kampanye bakal calon Presiden AS, Donal Trump, September lalu.
Penulis awalnya terkesan terhadap langkah yang diambil Wakil Ketua MKD, Junimart Girsang, untuk segera memproses kasus tersebut tanpa menunggu laporan pengaduan, baik dari masyarakat maupun dari anggota DPR. Namun pada akhirnya Penulis kecewa kasus tersebut hanya diputus MKD dengan memberikan sanksi ringan berupa teguran kepada keduanya agar hati-hati dalam menjalankan tugas (www.liputan6.info, 19 Oktober 2015).
Lebih mengecewakan lagi ketika diketahui bahwa sanksi tersebut disepakati secara musyawarah mufakat oleh MKD tanpa dihadiri Setnov dan Fadli Zon yang dikabarkan mangkir sebanyak tiga kali dalam panggilan sidang. Syarifuddin Sudding, anggota MKD sendiri mengatakan bahwa MKD terindikasi tidak serius menangani kasus ini karena tidak adanya respon dari pimpinan MKD atas mangkirnya Setnov dan Fadli Zon dalam setiap undangan sidang (www.liputan6.info, 19 Oktober 2015).
Kedua, tidak lama setelah kasus tersebut, MKD harus kembali bersidang untuk menyelesaikan kasus etika yang lagi-lagi melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Pada 16 November lalu Setya Novanto dilaporkan oleh Sudirman Said kepada MKD telah melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI).
Tidak hanya itu, ada bukti rekaman pembicaraan antara Setnov, seorang pengusaha, Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport, Maroef Sjamsuddin, yang membuat publik terkejut. Isi rekaman tersebut selain membahas perpanjangan kontrak PT Freeport juga berisi permintaan saham kepada PT Freeport yang dilakukan oleh Setnov.
Dalam perkembangan terakhir sidang pemeriksaan Setya Novanto dilakukan secara tertutup atas permintaan Setya Novanto. Padahal sidang pemeriksaan saksi sebelumnya, yakni Sudirman Said dan Maroef Sjamsuddin dilakukan secara terbuka. Hal ini tentu menambah kekecewaan dan kecurigaan publik terhadap independensi dan netralitas MKD.
Sebenarnya sidang MKD berdasarkan Peraturan DPR tentang tata beracara MKD adalah bersifat tertutup. Akan tetapi jika kita perhatikan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR menyatakan bahwa anggota DPR harus bersedia untuk diawasi oleh masyarakat dan konstituennya.
Dalam kasus yang melanda kehormatan DPR kali ini publik termasuk penulis menuntut seluruh sidang berkaitan kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dan juga pemufakatan terkait permintaan saham oleh Setya Novanto ini dilakukan secara terbuka. Supaya masyarakat dapat menilai dan mengawasi perkembangan sidang tersebut. Sehingga seharusnya demi kepentingan umum aturan bahwa sidang MKD bersifat tertutup dapat dikesampingkan.
Penulis menginginkan MKD menempatkan dirinya sebagai mahkamah kehormatan dewan, bukan mahkamah kehormatan pimpinan dewan. Anggota MKD harus bersikap independen dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
Dalam kasus ini selain berharap pada MKD, kita juga membutuhkan tekanan publik untuk menuntut tuntas kasus ini, baik melalui berita, media sosial, atau jika perlu demonstrasi. Sebab meminjam kata-kata Adian Napitulu saat ini DPR sedang dilanda darurat kehormatan dan publik harus melakukan fungsi kontrolnya.
Menurut Adian Napitulu, kasus ini telah meruntuhkan kredibilitas dua nama lembaga tinggi negara, pertama lembaga tinggi negara Kepresidenan, kedua DPR. Yang dicatut bukan hanya nama Presiden tapi nama 560 anggota DPR lainnya. Kalau Setya Novanto hadir menemui Presiden Direktur PT Freeport dalam kapasitas sebagai Ketua DPR atau mewakili anggota DPR maka seolah-olah 560 anggota DPR yang lain juga tercatut. Kalau tidak ada yang melawan ya berarti patut dipertanyakan kredibilitasnya. (PRIMETIME NEWS, METRO TV, 22 November 2015).
Masyarakat sangat berharap kepada MKD agar mengusut tuntas kasus ini dan tidak lagi memutus dengan sanksi yang ringan seperti kasus etika yang melanda Setya Novanto sebelumnya. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan akan melakukan proses hukum atas pencatutan namanya, tapi menunggu lebih dulu hasil dari MKD. Artinya Pemerintah yakni Presiden dan Wakil Presiden pun sangat berharap kepada MKD.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Zihan@theindonesianinstitute.com