Mengawal Pansus Hak Angket KPK

Pada Selasa, 30 Mei 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui rapat paripurna telah resmi membentuk Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) (Kompas.com, 31/5/17). Pansus Hak Angket KPK tersebut tetap dibentuk meskipun usulan hak angket terhadap KPK mendapat banyak penolakan, tidak hanya dari masyarakat tetapi juga dari beberapa fraksi di DPR RI sendiri.

Dalam proses pembentukan Pansus Hak Angket KPK, pada awalnya hanya 5 (lima) fraksi yang menempatkan perwakilan dalam Pansus tersebut. Kelima fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) (detikNews, 8/6/17).

Namun dalam perkembangannya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang semula menolak mengirimkan wakil, berbalik arah dan akhirnya memutuskan mengirim perwakilan ke dalam Pansus. Sehingga saat ini anggota Pansus Hak Angket KPK berasal dari 7 Fraksi dengan total perwakilan sebanyak 23 orang anggota. Pansus Hak Angket KPK ini kemudian dipimpin oleh Agun Gunandjar Sudarsa dari Fraksi Golkar yang terpilih sebagai Ketua Pansus Hak Angket KPK melalui rapat perdana tertutup Pansus Hak Angket KPK pada, Rabu, 7 Juni 2017 (Kompas.com, 9/6/17).

Menurut Donald Fariz, pegiat antikorupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW), mekanisme pembentukan Pansus Hak Angket KPK dapat dikatakan tidak sah secara hukum karena tidak memenuhi syarat kuorum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), yang menyatakan bahwa keanggotaan pansus terdiri dari semua unsur fraksi. Dengan demikian, terbentuknya Pansus Hak Angket KPK yang tidak terdiri dari semua unsur fraksi tidak memiliki keabsahan hukum (Kompas.com, 31/5/17).

Menyikapi pandangan tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, pembentukan Pansus Hak Angket KPK tetap sah meski ada fraksi yang menolak mengirim perwakilan. Sebab seharusnya semua fraksi wajib mengirim perwakilannya karena sudah menjadi keputusan rapat paripurna. Menurut Fahri Hamzah jika hanya karena satu orang atau satu fraksi Pansus Hak Angket KPK ini dibatalkan, hal itu akan menyebabkan kinerja DPR tidak efektif (Kompas.com, 30/5/17).

Sementara itu di pihak KPK, Laode Muhammad Syarif selaku Wakil Ketua KPK mengklaim belum bisa memastikan akan memenuhi panggilan pemeriksaan Pansus Hak Angket KPK. KPK sendiri dikabarkan akan memanggil ahli dan pakar hukum untuk menanyakan langkah yang harus diambil apabila dipanggil oleh Pansus (detikNews, 11/6/17). Namun di sisi lain, Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Risa Mariska, mengatakan jika tiga kali KPK tidak memenuhi panggilan Pansus, maka bisa dilakukan panggilan paksa. Oleh karena itu Pansus Hak Angket KPK meminta KPK untuk bersikap kooperatif (CNN Indonesia, 30/5/17)

Lagi-lagi keputusan DPR RI untuk tetap melanjutkan usulan hak angket KPK hingga membentuk Pansus menuai banyak kritik dari masyarakat. Kecurigaan akan adanya konflik kepentingan pun mengemuka. Banyak pihak menilai pembentukan Pansus Hak Angket KPK ini merupakan bentuk upaya pelemahan terhadap KPK terutama berkaitan dengan kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP Elektronik).

Meskipun kecurigaan ini dibantah oleh Pansus dengan menyatakan hal ini bukan upaya mengintervensi penegakan hukum melainkan memperbaiki apa yang menjadi masalah di KPK (Kompas.com, 8/6/17). Namun menurut Penulis kecurigaan  publik menjadi wajar jika kita mengingat kembali apa  yang menjadi tujuan dan latar belakang usulan hak angket KPK tersebut yakni mendesak KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang saat ini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

Sejak awal Penulis menilai keputusan menggunakan hak angket KPK ini memang kontroversial dan tidak tepat karena bertentangan dengan beberapa ketentuan undang-undang. Selain bertentangan dengan UU MD3 yang mengatur tentang apa yang seharusnya menjadi objek atau sasaran hak angket, hal ini juga bertentangan dengan undang-undang keterbukaan informasi publik yakni UU No. 14 Tahun 2008 (UU KIP) dan kode etik KPK yang mengatur prinsip kerahasiaan informasi. Dalam Pasal 17 UU KIP dokumen yang terkait substansi pokok perkara bukanlah merupakan dokumen publik melainkan merupakan informasi yang dikecualikan karena dapat menghambat proses penegakan hukum.

Akan tetapi pada akhirnya hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan DPR. DPR memutuskan tetap membentuk Pansus Hak Angket KPK. Selain itu, fakta bahwa beberapa Fraksi di DPR yang awalnya menolak dengan tegas hak angket KPK, tetapi pada akhirnya justru mengirimkan perwakilannya menjadi anggota Pansus, menurut Penulis membuktikan inkonsistensi sikap fraksi di DPR. Hal ini juga semakin memperkuat keyakinan banyak orang bahwa politic is the last minute. Artinya tidak ada yang pasti dalam politik dan perubahan dalam politik bisa terjadi begitu cepat, bahkan pragmatis.

Penulis sepakat bahwa penggunaan hak angket dan pembentukan Pansus sebagai pelaksana hak angket bukanlah sesuatu yang berlebihan sebab hal itu merupakan hak DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana telah diatur di dalam undang-undang. Bukan menjadi masalah menurut Penulis jika Pansus Hak Angket KPK ini dibentuk misalnya dengan tujuan untuk mengawasi pelaksanaan UU KPK, seperti misalnya pelaksanaan kewenangan operasi tangkap tangan, atau pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang mungkin dilanggar oleh KPK. Namun akan menjadi masalah jika sasaran yang hendak dicapai adalah memaksa KPK membuka berita acara pemeriksaan.

Sehingga menurut Penulis, KPK dapat bersikap kooperatif terhadap panggilan Pansus Hak Angket KPK. Namun KPK bisa menolak apabila Pansus meminta KPK untuk membuka BAP di mana selama ini diketahui sebagai satu-satunya tujuan dan latar belakang diusulkannya hak angket KPK ini.

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar