Sebagai bangsa yang bercorak pluralisme, sentimen atas nama kesamaan bahasa, asal daerah, dan kebiasaan termasuk kegemaran seringkali muncul. Dan tidak dipungkiri terbawa di ruang-ruang publik. Beberapa waktu lalu, beberapa sosial media memberitakan sejumlah orang di Kota Sukoharjo dan sekitarnya, pergi ke rumah makan tempat dimana Presiden Jokowi pernah menikmati hidangan khas setempat. Beberapa diantaranya mengaku bangga bisa menikmati hidangan khas yang pernah dinikmati presiden RI tersebut terlebih sebagai sesama warga asal Jawa Tengah. Diluar isu pencitraan, tersimpul nuansa sentimen kedaerahan yang sangat kuat dimana secara simbolik bisa dimaknai bahwa presiden Jokowi, orang Jawa Tengah, sukses (menjadi presiden), menikmati masakan asal daerah yang rasanya tidak kalah dengan masakan nusantara lainnya.
Ilustrasi ringan diatas sering kita jumpai dalam praktik keseharian. Sedikit banyak terselip dorongan ikatan solidaritas mekanis sebagaimana dikemukakan Emile Durkhaim, dimana contoh diatas menggambarkan solidaritas warga biasa untuk ikut makan di rumah makan tersebut muncul atas dasar kesamaan asal daerah dengan Presiden Jokowi. Lebih dari itu, yang menarik dan terkait pilkada 2018, muncul sebuah gejala sentimen yang sifatnya lebih kuat, atas dasar kesadaran yang sangat kuat dari pihak-pihak yang dikarenakan memiliki kesamaan tertentu berniat untuk menaikkan pamor derajat kelompoknya sebagai kelompok yang istimewa dan memiliki posisi yang lebih baik dari kelompok lain. Adapun pihak-pihak di luar kelompoknya cenderung dianggap sebagai ancaman, sehingga kelompok ini selalu waspada dan beranggapan bahwa pihak-pihak di luar kelompok adalah musuh. Gejala ini dipertontonkan menjelang pilkada 2018, pun di pilkada 2017 lalu di DKI Jakarta yang sudah sangat mencolok, dimana satu kelompok karena kesamaan tertentu (agama dan alirannya) menggalang kekuatan dengan berbagai cara demi melumpuhkan lawan politik yang tidak sejalan dengannya. Salah sutu tontonan kekuatan kelompok dimaksud bisa terlihat pada aksi 212 lalu.
Apa yang perlu dicermati sekaligus dikhawatirkan atas munculnya gejala ini? Ilmuan Perempuan, Johana Arendt (Origins of Totalitarianism, 1951) menyebut satu konsep, tribal nationalism yang menyebutkan bahwa gejala ini akan bisa menjadi penggerak bagi munculnya imperialisme kontinental, yakni imprialisme yang dibentuk bukan oleh kekuatan modal melainkanoleh kerumunan karena kesamaan tertentu. Tribal nationalism adalah Nasionalisme ‘baru’ yang memiliki karakter yang berbeda dengan nationalisme dalam konteks negara bangsa, tribal nationalism dibangun atas dasar innate soul, kesamaan spiritual origin.
Tribal nationalism tentu sangat menghawatirkan bagi bangsa ke depan mengingat Indonesia bukan hanya milik kelompok dan golongan tertentu. Terkait nasionalisme, yang dibangun seharusnya atas dasar keberadaan wilayah atau teritori, patriotisme maupun pengalaman politik aktual sebagaimana pernah dialamai para founding father di era kemerdekaan, bukan atas dasar karena kesamaan tertentu (misalnya agama) para pihak yang kemudian membentuk satu kelompok.
Konsep tribal nationalism bisa menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia yang tengah bergejolak terlebih menjelang Pilkada 2018. Pada masa kampanye, calon kepala daerah dan kader-kader politik akan menggelorakan pentingnya nasionalisme melalui kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa. Namun, tidak bisa terhindar bahwa saat kampanye beragam intoleransi dan kekerasan yang memobilisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan akan bermunculan. Yang tengah menguat adalah politik identitas atas nama agama yang semakin terlihat melalui berita-berita HOAX dan ujaran kebencian di ruang cyber dan ruang-ruang ibadat. Bahkan beberapa kali terjadi persekusi yang menyerang pihak lain di luar kelompoknya.
Langkah-langkah apa yang perlu didorong untuk mencounter tribal nationalism ini? pihak peyelenggara pemilukada dalam hal ini KPU dan BAWASLU harus benar-benar jeli untuk melihat setiap segala jenis tindakan yang dianggap melanggar ketentuan terutama pada masa kampanye dimana simbol-simbol tertentu (seperti agama) digunakan sebagai alat kampanye oleh kelompok kelompok yang berafiliasi pada kepentingan politik. Kedua, penegak hukum juga harus tegas melakukan penyisiran berita berita hoax dan ujaran kebencian utamanya di ranah cyber yang merupakan alat untuk melumpuhkan satu pihak kepada pihak lain. Langkah ketiga yang bersifat keberlanjutan dan ditujukan kepada para pendidik dan menjadi bagian dari kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah menanamkan dan menumbuhkan kembali rasa nasionalisme, kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa secara utuh dimana didalamanya mencakup kecintaan terhadap perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang harus diamini sebagai kekayaan bangsa. Langkah ketiga ini bisa dilaksanakan dan dimulai dibangku sekolah dasar dengan kemasan penyampaian yang menarik dimana setiap siswa diperkenalkan perbedaan disekitarnya, saling berinteraksi dan menghargai, dan berorentasi kepada nasionalisme secara utuh.
Yossa Nainggolan, Manager Penelitian dan Program The Indonesian Institute, yossa@theindonesianinstitute.com