Menanti Gagasan Baru dari Partai Politik Jelang Pemilu 2024

Hiruk pikuk politik Indonesia dua tahun jelang Pemilu 2024, dipenuhi oleh wacana pembentukan koalisi dan pencarian kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). Misalnya saja, pada 12 Mei 2022 yang lalu telah terbentuk Koalisi Indonesia Bersatu yang berisi Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka bersepakat membentuk koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Pembentukan koalisi ini untuk memenuhi syarat mengusung capres-cawapres dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 nanti.

Selain itu, ada juga pertemuan-pertemuan penjajakan koalisi seperti yang dilakukan beberapa partai politik belakangan ini, seperti pertemuan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Bahkan, Partai Nasdem sendiri telah mengumumkan kandidat capresnya berdasarkan keputusan rapat kerja nasional yang menghasilkan tiga nama kandidat, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa.

Dengan memperhatikan dinamika tersebut, maka tidak mengherankan jika partai hanya sibuk mencari kandidat capres. Padahal penyelenggaraan pemilu bukan hanya melulu soal capres. Seharusnya partai politik juga memiliki kewajiban untuk memaparkan visi, misi, dan program yang akan diusungnya pada Pemilu 2024 mendatang. Tentunya hal ini mengingatkan kita semua akan Pemilu 2019 yang lalu, di mana penyelenggaraan pemilu hanya didominasi oleh perbincangan terkait pilpres dan minim adu gagasan antar partai politik.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, pada tahun 2019 lalu mengatakan bahwa hal ini merupakan konsekuensi dari pemilu serentak. Pemilih fokus di pilpres, serta terlalu banyak partai dan caleg. Di sisi lain, parlemen dianggap tidak menjalankan fungsinya. Belum lagi image negatif karena korupsi. Apatisme terhadap pemilihan legislatif (pileg) sangat tinggi (bbc.com, 29/3/2019).

Hal senada juga diutarakan oleh pengamat kepemiluan, Titi Anggraini, yang menyatakan bahwa dengan dominasi pembahasan pilpres maka pemilih yang dirugikan. Titi menjelaskan hal ini karena terlalu banyak aktor yang berkompetisi, terlalu banyak posisi yang dipilih. Dengan demikian, secara natural orang akan mengenali figur-figur utama yang berkompetisi, (bbc.com, 29/3/2019).

Menyikapi kondisi tersebut, seharusnya waktu dua tahun ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh partai politik untuk merancang dan memperkenalkan gagasan-gagasannya kepada pemilih, terutama pada pemilih muda yang nantinya akan menempati porsi 60 persen dari jumlah total pemilih di Pemilu 2024. Berdasarkan pendapat Gabriel Almond dan Sidney Verba (1990), pembentukan orientasi pemilih dikategorikan menjadi tiga. Pertama, orientasi kognitif yaitu pengetahuan dan kepercayaan pada kandidat. Kedua, orientasi politik afektif yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman atau keluarga terhadap penentuan pilihan, dan ketiga, orientasi politik evaluatif yaitu keputusan dan pendapat pemilih terhadap parpol/ kandidat pilihannya.

Berdasarkan riset yang dilakukan TII dengan menyebarkan angket kepada anak muda pada 20 Apil 2022 hingga 11 Mei 2022, perilaku pemilih anak muda cenderung lebih evaluatif dalam melihat visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh partai politik maupun kandidat capres dan cawapres. Selain itu, anak muda juga mempertimbangkan program partai yang memperjuangkan keberagaman dan toleransi. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa pertimbangan anak muda dalam menentukan pilihan politiknya berdasarkan pertimbangan yang rasional.

Selanjutnya, riset ini juga menemukan bahwa isu yang paling penting untuk diusung pada Pemilu 2024 oleh partai politik dan capres adalah isu-isu kebijakan publik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti isu tentang lapangan pekerjaan, kualitas pendidikan, isu pengendalian harga bahan pokok. Akan tetapi, terdapat juga isu lain yang menjadi perhatian anak muda seperti pemberantasan korupsi dan kebebasan berekspresi.

Kemudian yang terakhir, riset ini juga menemukan bahwa masih rendahnya perspektif gender pada anak muda dalam memilih calon pemimpin. Rendahnya perspektif gender ini juga diikuti oleh rendahnya pengetahuan anak muda terhadap komitmen partai politik terhadap representasi perempuan dalam politik.

Temuan-temuan dalam riset ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik jelang Pemilu 2024. Partai politik diharapkan dapat memanfaat kan waktu dua tahun ini untuk mempersiapkan gagasan-gagasan baru yang dapat menjawab persoalan praktis bagi pemilih, terutama anak muda.

Partai politik dapat membuka ruang dialog dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Akademisi, Organisasi Profesi untuk merumuskan program-program yan ditawarkan. Setelah itu, program-program ini ditawarkan kepada pemilih dengan menggunakan medium kampanye yang beragam.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah partai politik diharapkan dapat mendorong membunyikan narasi-narasi politik perempuan. Hal ini perlu ditunjukkan secara konsisten dengan mendorong kesadaran, kepekaan, serta kesetaraan gender dalam positioning, organisasi, program, kebijakan, maupun visi dan misi partai politik. Partai politik juga perlu secara konsisten dan serius menunjukkan komitmen ini kepada publik, sehingga publik, khususnya pemilih termasuk pemilih muda, juga menyadari komitmen partai politik dalam mendukung partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan yang berperspektif gender.

 

Arfianto Purbolaksono

Manajer Riset dan Program

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar