Penulis tidak ingin mengucapkan Selamat Hari Ibu pada setiap tanggal 22 Desember dan terutama untuk tahun 2015 ini. Hal ini bukan karena Penulis sudah tidak memiliki Ibu. Namun, menurut Penulis, tanpa menurunkan sedikitpun arti penting Ibu dalam kehidupan umat manusia, memperingati tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu semata, mereduksi makna Ibu dan catatan sejarah di tanggal itu bagi perempuan Indonesia.
Pertama, mereduksi makna ibu. Lazim yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia di tanggal ini adalah misalnya memberi bunga untuk Ibu, mengirimkan surat, memberikan kado dan lain sebagainya. Dan di hari lain? Tidak ada apa-apa. Apa betul kita hanya menunjukkan rasa terima kasih kepada Ibu di hari tersebut? Kita bisa menunjukkannya setiap hari dengan berbagai cara. Hal lain terkait ini adalah, dalam konteks Indonesia (Amiruddin,2015), kata Ibu bukan semata bermakna mother seperti dalam bahasa Inggris, tapi juga bermakna madam, atau bahkan panggilan umum perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum.
Jelas kemudian melekatkan Hari Ibu hanya ke ‘Ibu’ dengan kaitannya ke status perkawinan perempuan menjadi tidak relevan.
Kedua, mereduksi catatan penting tonggak pergerakan perempuan Indonesia. Penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember adalah berdasarkan Dekrit Presiden Sukarno pada Tahun 1959 untuk mengenang diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres itu membahas pelbagai isu terkait perempuan seperti pendidikan, kesehatan ibu dan balita, pernikahan dini bagi perempuan termasuk terkait partisipasi perempuan di ranah publik dalam pembangunan dan juga dalam konteks ikut berperang melawan penjajah saat ini.
Melihat hal tersebut, menurut Penulis harusnya pada tanggal 22 Desember itu jadi momentum untuk melihat ulang kondisi perempuan saat ini. Apakah yang dibicarakan dan coba diadvokasi oleh para aktivis perempuan Indonesia 87 tahun yang lalu itu sudah terwujud? Dimana posisi perempuan Indonesia sekarang? Apa capaian dan apa tantangan yang masih harus mereka hadapi. Misalnya kita lihat tingkat partisipasi perempuan di Indonesia di ruang publik.
Untuk tingkat partisipasi perempuan di lembaga eksekutif misalnya, menurut Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) per Juni 2009, terdapat 1,990,706 perempuan yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di seluruh Indonesia, atau sama dengan 45,45 persen dari total PNS di Indonesia (4.380.022). Jumlah yang cukup besar. Namun, berdasarkan jabatan struktural eselon I, perempuan baru mencapai 8,7 persen dari total PNS di eselon ini. Pencapaian angka ini masih sangat kecil.
Hal ini, menurut Penulis, selain faktor internal si perempuan PNS itu sendiri namun faktor yang juga dominan dan juga mempengaruhi faktor internal itu adalah faktor eksternal seperti masih kuatnya pandangan di masyarakat bahwa perempuan cukup di posisi administrasi karena teliti dan tekun. Sedangkan jabatan di tingkat atas di tingkat pengambilan keputusan, serahkan kepada PNS laki-laki. Dari riset The Indonesian Institute pada 2011 silam terkait partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, hal ini jamak terjadi di daerah pedesaan atau daerah kota-kota kecil.
Dari satu ilustrasi untuk satu isu di atas, sudah terlihat bahwa masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk memastikan agar perempuan bisa berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan. Terlihat juga potensi secara kuantitas Perempuan Indonesia besar, namun bagaimana mereka terlengkapi dengan keterampilan yang cukup, pengetahuan yang luas, menjadi tanggung jawab pemerintah dengan bantuan seluruh komponen bangsa.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com