Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, telah usai pada 15 Februari yang lalu. Berdasarkan hasil penghitungan entry data form C1 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat menempati posisi pertama dengan 42,96 % suara. Diikuti pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan 39,97% suara dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang mendapatkan 17,06% suara (https://pilkada2017.kpu.go.id, diakses tanggal 21/2).
Walaupun hasil tersebut belum menjadi hasil resmi dari KPUD. Namun hal ini menjadi gambaran, bahwa belum ada pasangan calon yang mendapatkan perolehan suara 50%+1. Artinya belum ada pasangan calon yang keluar sebagai pemenang dan Pilkada DKI 2017 dilanjutkan ke tahap putaran kedua. Ditahap putaran kedua nanti, menyisakan dua pasang calon yang bersaing, yaitu pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.
Terpilihnya kedua pasang calon di atas, menunjukkan realitas pemilih di DKI Jakarta. Pemilih di Jakarta dinilai lebih rasional untuk menentukan pilihannya. Dalam teori pilihan rasional dikatakan bahwa pemilih (aktor) dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan. Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor melakukan tindakan yang sesuai tujuan (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2007).
Padahal yang seperti kita ketahui bersama, Pilkada DKI Jakarta sejak bergulirnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, dibayang-bayangi oleh isu SARA. Namun bayang-bayang isu SARA ini ternyata tidak terlampau signifikan mempengaruhi pemilih ibukota di putaran pertama yang lalu. Perolehan suara pasangan Ahok-Djarot menjadi salah satu buktinya. Figur, kinerja serta program yang ditawarkan pasangan petahana ini, masih menjadi daya tarik pemilih untuk memberikan suaranya.
Begitupula dengan pasangan Anies-Sandi, dimana sosok, gaya komunikasi, serta program yang diusung pasangan Anies-Sandi masih menjadi salah satu magnet bagi pemilih, terutama di kalangan kelas menengah. Walaupun di sisi lain, faktor sosiologis juga turut serta mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihannya ke pasangan ini.
Sebelumnya, di bulan November 2016, The Indonesian Institute mengadakan diskusi membedah visi misi Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dengan mengundang sejumlah pakar di bidang anti korupsi dan jaminan sosial. Berdasarkan diskusi tersebut para pakar menilai bahwa program kedua pasangan calon ini dinilai lebih konkrit dibandingkan pasangan Agus-Sylvi.
Maka tidak mengherankan jika paska tiga kali debat Visi Misi Calon Gubernur DKI Jakarta 2017, elektabiltas pasangan Agus-Sylvi dalam sejumlah survei mengalami penurunan. Bahkan hanya mendapatkan 17,06% dalam real count form C1 yang dilakukan KPUD DKI Jakarta. Hal inilah yang menjadi alasan penulis mengatakan bahwa pemilih Jakarta merupakan pemilih yang rasional.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com