Tahun 2014 merupakan tahun yang penting bagi masyarakat Indonesia. Di tahun politik ini, Indonesia akan memilih para wakil rakyat untuk dapat memperjuangkan aspirasi mereka dan menentukan ‘arah’ Indonesia lima tahun mendatang.
Untuk dapat terpilih, baik para calon anggota legislatif (caleg), maupun kader partai politik ramai-ramai melakukan kampanye. Guna dapat meningkatkan popularitas, kegiatan kampanye tentu harus mendapat sorotan dari media. Peran media massa dalam kegiatan kampanye sangat penting, karena media dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau sudut pandangnya.
Selama kegiatan kampanye yang telah berlangsung pada 16 Maret sampai 5 April yang lalu, kampanye dan pemberitaan politik ‘menghiasi’ berbagai media, mulai dari media cetak sampai elektronik. Isi pemberitaannya pun beragam, karena pemberitaan di media ‘mengusung’ berbagai tema selain proses dan kegiatan kampanye itu sendiri.
Menurut hasil media monitoring The Indonesian Institute terhadap beberapa surat kabar dan media online, tema yang diusung pada masa kampanye sangat beragam. Menariknya, pemberitaan kampanye bukan merupakan pemberitaan dengan frekuensi nomor satu. Tercatat, tema dengan frekuensi terbanyak adalah mengenai pencapresan yang mencapai mencapai angka 38% diikuti kegiatan kampanye sebesar 33%, konflik partai 11%, pelanggaran 9%, koalisi 7%, dan survei 2%.
Kemudian, apabila didasarkan dengan frekuensi pemberitaan per/partai, PDIP merupakan partai nomor satu yang paling sering diberitakan, yakni sebanyak 26%, Golkar 11%, Partai Demokrat 13%, Gerindra 10%, Hanura 7%, PKS 9%, PPP 5%, PKB 6%, PAN 4%, Nasdem 4%, PKPI 3%, dan PBB 2%.
Dalam berbagai pemberitaan di media tersebut, dapat dikelompokkan kembali menjadi dua, yakni pemberitaan dengan nada atau tone positif, dan negatif.
Terkait dengan hal tersebut, media memiliki ‘daya jangkau’ yang luas dalam menyebarkan informasi publik termasuk berita politik pada saat kampanye, baik yang negatif maupun positif – tentu akan mempengaruhi preferensi pemilih.
Adapun yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana berita positif dan negatif itu ‘dirumuskan’, serta apakah media benar-benar netral dan tidak memihak? Jawabannya tentu tidak, mengingat saat ini, banyak media cetak maupun elektronik yang dimiliki oleh para politisi dan juga menjadi alat kampanye. Media yang dimiliki oleh politisi tertentu, tentu akan menulis pemberitaan positif terhadap politisi tersebut, serta pemberitaan negatif terhadap saingan politiknya.
Mengenai hal tersebut, sebenarnya sudah ada koordinasi dari tiga lembaga, yakni, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk menyikapi materi pemberitaan kampanye di media.
Sedangkan untuk tafsir kampanye dalam media penyiarannya sendiri sudah diatur oleh beberapa produk kebijakan diantaranya, UU No.8/2012 tentang Pemilihan Umum, UU 32/2002 tentang Penyiaran, serta PKPU No.1/2013 dan PKPU No.15/2013 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Kampanye Pemilu Legislatif.
Dalam beberapa kebijakan tersebut, telah dijelaskan mengenai pemberitaan, bahwa semua media harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu. Dalam artian, media tidak boleh menjadi partisan atau memihak terhadap salah satu peserta pemilu (KPI, 10/02).
Namun, dengan bertolak pada kenyataan yang ada sekarang, ironis melihat isi pemberitaan media pada masa kampanye tidak lagi netral. Padahal, media merupakan pilar keempat demokrasi, yang seharusnya menyajikan berita-berita yang objektif, berimbang, kaya wawasan, mencerahkan, serta tidak mengedepankan kepentingan para elit pemilik media di atas kepentingan publik.
Santi Rosita Devi – Peneliti Yunior Bidang Sosial The Indonesian Institute
santi@theindonesianinstitute.com