Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan membentuk Komite Rekonsiliasi. Komite ini terdiri dari lintas lembaga seperti Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Badan Intelejen Nasional, Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM.
Komite ini nantinya akan memiliki struktur keorganisasian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Joko Widodo. Mekanisme penyelesaian melalui komite ini nantinya akan dilakukan dengan mengutamakan kerja sama antarlembaga. Komite ini juga akan bersifat terbuka dan partisipatif, termasuk terhadap keluarga korban guna mengungkap kebenaran.
Komite Rekonsiliasi akan menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dari tahun 1965 hingga 1999, seperti tragedi 1965, penembakan misterius era 1980, peristiwa Talangsari, penghilangan orang secara paksa jelang reformasi, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Komite Rekonsiliasi menyatakan terdapat tiga poin penting yang diatur dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pendekatan non-yudisial ini. Pertama, apabila usai penyidikan oleh Kejaksaan Agung ternyata benar ditemukan pelanggaran HAM, maka akan dibuat suatu pernyataan tentang pelaku pelanggar HAM. Kedua, dengan adanya pelanggaran HAM itu maka Indonesia akan berkomitmen untuk tidak akan lagi mengulangi di masa mendatang. Ketiga, Presiden atas nama negara menyatakan penyesalan dan meminta maaf kepada publik.
Di tengah ketidakjelasan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia, penulis menilai bahwa pembentukan Komite Rekonsiliasi merupakan langkah maju untuk membuka lembaran baru penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Idealnya rekonsiliasi mencegah penggunaan masa lalu sebagai benih konflik baru, mengkonsolidasikan perdamaian dan memutus siklus kekerasan. Rekonsiliasi diharapkan menyembuhkan luka para korban, perbaikan ketidakadilan masa lalu, dan membangun hubungan non-kekerasan antara individu dengan negara dimasa depan (Extracted from Reconciliation after Violent Conflict, IDEA, 2003, hal 19).
Namun yang menjadi catatan penulis, pertama, proses rekonsiliasi bukanlah untuk melupakan pelanggaran HAM masa lalu. Proses rekonsiliasi harus didahului oleh pengungkapan kebenaran yang dilakukan secara transparan kepada publik. Komite harus mengungkap kronologis hingga pelaku yang dianggap bertanggungjawab terkait peristiwa pelanggaran HAM tersebut.
Kedua, pengungkapan kasus pelanggaran HAM harus diberikan ruang dalam dokumen sejarah perjalanan bangsa, sehingga kasus pelanggaran HAM tidak menjadi lagi tertutup. Karena hal ini akan menjadi pembelajaran bagi pemerintahan dimasa yang akan datang, bahwasanya pernah terjadi kekeliruan negara di masa lalu. Ketiga, proses rekonsiliasi juga harus memfasilitasi korban agar melewati fase menerima kenyataan hingga memaafkan pelaku pelanggar HAM.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
arfianto@theindonesianinstitute.com