Jokowi ke Vatikan, Dalam Kapasitas Apa?

Presiden Joko Widodo, yang secara formal telah menyelesaikan masa jabatannya sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto, ditugaskan ke Vatikan untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Penugasan ini dikonfirmasi langsung oleh Kementerian Luar Negeri dan sejumlah media nasional, dengan penjelasan bahwa Jokowi diutus sebagai perwakilan resmi negara oleh Presiden Prabowo (detik.com, 24/04/2025).

Namun, keputusan ini menyisakan pertanyaan mendasar tentang batas wewenang dan norma etika dalam tata kelola pemerintahan. Dalam sistem presidensial modern yang mengedepankan “rule of law” dan pemisahan kekuasaan secara tegas, kehadiran seorang mantan presiden sebagai utusan resmi negara, tanpa jabatan formal apa pun, menimbulkan kerancuan serius.

Dalam praktik birokrasi yang sehat, tugas-tugas kenegaraan semestinya dijalankan oleh pejabat aktif yang memiliki wewenang konstitusional. Penugasan Presiden sebelumnya sebagai perwakilan resmi negara tanpa posisi formal menimbulkan kesan bahwa pemerintahan ini tidak memiliki garis batas yang jelas antara loyalitas politik dan etika birokrasi. Pun Joko Widodo ada di jajaran Dewan Pengarah Danantara, tetap saja pendelegasian Presiden Prabowo dalam hal ini tidak relevan.

Keputusan Presiden Prabowo ini juga menunjukkan bahwa bayang-bayang kekuasaan Jokowi masih cukup besar dalam lingkaran Istana, bahkan ketika masa jabatannya telah berakhir. Sementara, Jokowi sendiri seharusnya perlu menyadari bahwa dirinya tidak lagi memiliki posisi resmi dan tidak sewajarnya terus mengambil panggung atas nama negara. Dalam sistem presidensial yang mengedepankan pembagian wewenang dan pertanggungjawaban yang tegas, tindakan seperti ini justru memperlihatkan buruknya transisi dan etika pemerintahan.

Fenomena ini dapat dianalisis melalui lensa new institutionalism, khususnya pendekatan historical institutionalism. Dalam kerangka ini, kekuasaan dipandang tidak hanya sebagai produk keputusan rasional semata, tetapi juga sebagai hasil dari jalur sejarah dan institusional yang telah terbentuk sebelumnya (Hall & Taylor, 1996). Dalam konteks ini, Jokowi bukan hanya mantan presiden, tetapi figur dengan warisan politik dan jaringan kekuasaan yang masih sangat aktif, bahkan setelah mandat resminya berakhir.

Keputusan Presiden Prabowo untuk mengutus Jokowi bisa dilihat sebagai bagian dari “path dependency”, di mana warisan pengaruh Jokowi terus dilestarikan demi menjaga stabilitas politik dan citra internasional. Namun, hal ini justru menunjukkan lemahnya batas institusional dan risiko “delegative democracy”, yakni situasi di mana keputusan negara bergantung pada figur individual, bukan prosedur kelembagaan (O’Donnell, 1994).

Dari pendekatan “rational choice institutionalism”, tindakan ini juga dapat dilihat sebagai keputusan pragmatis. Jokowi punya reputasi internasional yang telah dibangun selama satu dekade bisa jadi dinilai lebih “aman” secara simbolik untuk mewakili Indonesia di forum keagamaan global. Namun, logika pragmatis ini mengorbankan prinsip institusi, yakni bahwa hanya pejabat aktif yang memiliki kompetensi dan akuntabilitas konstitusional yang seharusnya bertindak atas nama negara (Hall & Taylor, 1996).

Lebih jauh, situasi ini memperlihatkan apa yang disebut Joel S. Migdal (2001) sebagai gejala “weak state, strong men”, kondisi di mana figur politik memiliki pengaruh lebih besar daripada sistem dan institusi negara itu sendiri. Dalam kondisi demikian, birokrasi menjadi tunduk pada kekuatan personalistik, bukan norma hukum. Loyalitas terhadap mantan presiden melampaui loyalitas terhadap aturan, menciptakan zona abu-abu antara etika jabatan dan patronase politik.

Padahal, dalam demokrasi konstitusional yang sehat, pembatasan kekuasaan dan kejelasan peran adalah syarat utama. Ketika batas antara pejabat aktif dan mantan pejabat kabur, publik kehilangan titik referensi mengenai siapa yang bertanggung jawab atas keputusan negara.

Secara simbolik, kehadiran Jokowi bisa saja dibaca sebagai bentuk kesinambungan hubungan diplomatik. Namun secara prosedural, hal ini menyalahi prinsip dasar birokrasi modern, yakni “clear authority and accountability”. Simbol tanpa dasar institusional justru melemahkan legitimasi negara dalam jangka panjang. Jika semua keputusan hanya didasarkan pada pertimbangan simbolik dan loyalitas politik, maka yang terjadi bukan penguatan negara, melainkan personalisasi kekuasaan.

Guillermo O’Donnell dalam tulisannya tentang “delegative democracy” (1994) memperingatkan bahwa demokrasi bisa berubah menjadi bentuk otoritarianisme baru apabila presiden (atau mantan presiden) bertindak seolah memiliki otoritas absolut atas segala urusan kenegaraan, sementara lembaga-lembaga negara lainnya hanya menjadi alat legitimasi.

Pertanyaan kritisnya: apakah Indonesia sedang dipimpin oleh institusi, atau oleh figur? Dalam demokrasi yang sehat, transisi kekuasaan harus diiringi dengan penegakan batas peran yang jelas antara mantan pejabat dan pejabat aktif. Negara tidak boleh dijalankan berdasarkan kedekatan pribadi, tetapi melalui mandat publik yang formal.

Kehadiran Jokowi dalam misi diplomatik internasional setelah masa jabatan berakhir bukan hanya soal etika, tapi juga soal arah dan kualitas demokrasi kita ke depan. Karena pada akhirnya, negara ini tidak boleh terus berada di bawah “ketiak” siapa pun, baik mantan presiden maupun presiden yang sedang menjabat, terutama ketika berpolemik seperti yang selama ini terjadi.

 

Felia Primaresti

Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute

felia@theindonesianinstitute.com

Komentar