Foto Indonesiainside.id

Kongres PDIP Rekomendasikan GBHN, Pengamat: Tujuannya Harus Jelas

Kongres kelima PDIP mendorong adanya kewenangan MPR RI menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945. Wacana ini adalah satu di antara 23 rekomendasi dan sikap politik PDIP.

Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Resarch, Rifqi Rachman mengatakan, usulan PDIP mengenai tujuan dikembalikannya kewenangan MPR RI dalam menetapkan GBHN perlu diperjelas.

“Pertanyaan tentang posisi Presiden yang menjadi mandataris MPR memang sudah dijawab oleh beberapa petinggi teras PDIP. Namun, terkait dengan implementasi GBHN, ada hal yang harus diperjelas,” kata peneliti TII Center for Public Policy Resarch ini Selasa (13/8).

Rifqi mengatakan, pertanggungjawaban Presiden dalam pencapaian pelaksanaan GBHN dalam sidang MPR harus diperjelas. Misalnya, perlu atau tidak penyampaian laporan pertanggungjawaban presiden di sidang MPR.

“Apakah dengan dibentuknya GBHN oleh MPR, maka Presiden juga harus memberikan laporan pertanggungjawaban di sidang MPR? Ini harus diperjelas karena posisi Presiden dipilih langsung rakyat, dan oleh karenanya juga bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat,” kata Rifqi.

Jika Presiden tidak harus melaporkan pertanggungjawaban kepada MPR, maka menurutnya perlu dipikirkan sebuah mekanisme yang dapat mempertontonkan capaian pemerintah terhadap GBHN, agar GBHN yang ditetapkan tidak menjadi sia-sia.

Berdasarkan pengamatannya, wacana menghidupkan kembali GBHN bukan pertama kalinya dilakukan PDIP. Dia mengatakan wacana itu harus dimatangkan hingga tahap implementasi.

Adapun untuk mendukung usulan itu, PDIP dinilai memerlukan suara lain yang mendukung rencana mereka. Dia menilai Gerindra sebagai partai peraih suara pemilu terbesar kedua, dapat menjadi kawan sentral dalam mewujudkan usulan tersebut.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, rekomendasi itu akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Menurut dia, MPR sebagai lembaga permusyawaratan harus menetapkan haluan negara berupa GBHN.

Pembuatan GBHN bertujuan untuk menentukan laju pembangunan agar tidak sporadis. GBHN tersebut harus diikuti seluruh lembaga negara termasuk presiden dan lembaga negara lainnya.

“Visi-misi apa yang harus dituju. Tanpa GBHN dalam jangka panjang, tidak mungkin,” kata Hasto kemarin (11/8).

Menurut Hasto, selama ini seakan-akan tidak ada arahan dalam pemerintahan.
Dalam menjalankan agenda pemerintahan, presiden cenderung tidak digerakkan visi dan misi. Lebih pada agenda jangka pendek selama lima tahun. Akhirnya, jika presiden berganti, arah pembangunan dan kebijakan juga berganti.

Sumber: Indonesiainside.id

Komentar