Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan usulan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tidak solutif karena tidak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan terkait defisit BPJS yang ada saat ini.
“Akar permasalahan defisit BPJS Kesehatan sendiri tidak pernah diselesaikan,” kata peneliti dari lembaga advokasi tersebut, Muhammad Teguh Maulana dalam rilis di Jakarta, Jumat (6/9).
Ia menambahkan bahwa seharusnya pemerintah meninjau ulang model pembiayaan JKN, khususnya BPJS Kesehatan yang saat ini menggunakan sistem iuran atau pembayaran premi asuransi. Karena dengan membebankan biaya jaminan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah seperti melepaskan kewajibannya untuk menjamin akses kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya, mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan tetapi mendesak peninjauan ulang besaran tarif tersebut.
“Bagaimanapun kenaikan iuran juga harus memperhatikan faktor lain seperti kondisi ekonomi terkait inflasi dan taraf hidup penerima bantuan,” kata Vunny dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (4/9).
Dia mengatakan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan secara cermat besaran iuran tersebut. Dengan kata lain, pengambilan keputusan harus sejalan dengan prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yaitu kehati-hatian yang berarti prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan besaran iuran BPJS Kesehatan Mandiri kelas I yaitu Rp120 ribu, kelas II menjadi Rp80 ribu dan kelas III menjadi Rp42 ribu.
Sementara DPR RI menolak rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS sampai pemerintah menyelesaikan data cleansing serta mendesak pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan.
Sumber: Liputanislam.com