Foto Perencanaankota.blogspot.com.

Banjir dan Kegagalan Pembangunan

santiBeberapa hari ini, kita disuguhi pemberitaan mengenai banjir. Banjir seolah-olah menjadi fenomena yang “merata” di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang biasanya menjadi daerah “langganan” banjir, melainkan juga daerah-daerah lain, seperti Depok, Bekasi, Semarang, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Manado, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Cirebon dan lain-lain.

Masyarakat kerap kali menilai bahwa banjir merupakan dampak dari cuaca yang buruk, dimana hujan turun terus-menerus dengan volume yang besar. Tapi, sebaiknya kita juga tidak lupa bahwa manusia turut ‘menyumbang’, sehingga banjir menjadi sebuah bencana yang ‘semakin menakutkan’. Perilaku tersebut yakni, masih kurangnya kesadaran kita dalam memelihara lingkungan. Selain kebiasaan membuang sampah sembarangan, masalah mengenai tata kelola lingkungan dan/atau konsep pembangunan kota yang masih berantakan, juga menjadi salah satu penyebab banjir yang utama.

Salah satu daerah yang menerapkan tata kelola lingkungan yang buruk dalam hal pembangunan kota, adalah Kota Manado. Seperti yang telah dipaparkan oleh berbagai media, Banjir Manado merupakan salah satu banjir terparah yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Kota yang dilanda banjir bandang serta tanah longsor ini, telah menewaskan puluhan orang, serta menghancurkan ratusan rumah.

Bencana banjir memang suatu hal yang tidak bisa dihindari, tetapi menurut hemat penulis, resiko dari bencana ini dapat diminimalisir, apabila Pemerintah Kota Manado lebih peka mengenai masalah tata kelola lingkungan dalam pembangunan kotanya.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi geografis merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Manado. Kota ini terletak di 3 lempeng dan 6 patahan aktif. Ketiga lempeng tersebut adalah Indoaustralia, Eurasia, serta Pasifik. Selain itu, letak Kota Manado juga dekat dengan Filipina. Dengan demikian, aktivitas badai di Filipina juga mempengaruhi kondisi kota ini.

Sejalan dengan hal tersebut, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hariadi Permana, menyebutkan bahwa Kota Manado dikelilingi banyak sungai dan perbukitan dengan lereng yang cukup terjal (Net.TV, 2013). Dengan tidak memperhatikan kondisi ini, pembangunan Kota Manado malah berjalan begitu masif. Banyaknya bangunan di kota ini, membuat air tidak mampu terserap dengan baik, sehingga pada akhirnya menimbulkan banjir, erosi, dan tanah longsor.

Buruknya pembangunan Kota Manado, tidak terlepas dari terlambatnya perda Sulawesi Utara yang mengatur mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW Sulawesi Utara, memakan waktu selama 8 tahun hingga disahkan (tribunmanado.co.id, 2013). Hal ini mengakibatnya rencana untuk pembangunan Kota Manado menjadi kurang terencana.

Masalah lainnya adalah, RTRW Sulawesi Utara (periode sebelumnya) masih memusatkan pembangunannya pada pengembangan pembangunan kota. Berdasarkan data dari Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1991-2006 dan Peta Prasarana Wilayah Indonesia (PPWI) 2020 untuk Provinsi Sulawesi Utara 2020 edisi 2004, Kota Manado merupakan pusat kegiatan utama provinsi ini. Sehingga dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka pembangunan sarana dan prasarana provinsi untuk kegiatan ekonomi dan pemerintahan akan terpusat di kota ini.

Oleh karena pentingnya posisi Kota Manado, maka Pemerintah  Sulawesi Utara seharusnya memperhatikan masalah resiko lingkungan dengan menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam rencana pembangunan kotanya. AMDAL merupakan hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang sedang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Di Indonesia, AMDAL tertera dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

Terkait dengan hal tersebut, menurut Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, pembangunan di Indonesia masih belum merata dan atau masih terpusat di daerah perkotaan (The Indonesian Forum Seri 30,  16/1/2014). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya urbanisasi besar-besaran. Urbanisasi secara besar-besaran tentu akan berdampak pada semakin padatnya penduduk kota. Dengan semakin padatnya penduduk, maka akan semakin banyak bangunan perumahan, serta semakin sedikitnya daerah resapan air. Sebagai konsekuensinya, bencana banjir, erosi, dan tanah longsor tentu tidak bisa dihindari dan/.atau dampaknya menjadi semakin parah.

Santi Rosita Devi, Peneliti Yunior Bidang Sosial The Indonesian Institute (santi@theindonesianinstitute.com)

Sebagai penutup, para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, harus lebih memperhatikan kembali ‘masalah pembangunan’ di negeri ini. Dengan demikian, konsep pembangunan Indonesia kedepannya tidak hanya terfokus pada kepentingan ekonomi dan politik saja, melainkan juga turut memperhatikan kondisi geografis suatu wilayah, serta kajian AMDAL. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi lebih siap dengan resiko bencana, atau dalam konteks tulisan ini adalah resiko bencana banjir.

Komentar