
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Selasa 9 Februari 2016 vonis terhadap Jero Wacik, tersangka kasus korupsi Dana Operasional Menteri (DOM) dan gratifikasi, telah dibacakan di dalam sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), Jakarta.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman kurungan 4 tahun dan ganti rugi sebesar Rp.5,7 miliar kepada Jero Wacik. Putusan pengadilan tersebut jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa yakni 9 tahun penjara dan ganti rugi Rp. 18,7 miliar (Kompas,11/02/16).
Jero Wacik terbukti telah menyelewengkan DOM saat menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun anggaran 2008-2011 untuk kepentingan pribadi sebesar Rp. 8,48 miliar dari jumlah kerugian negara seluruhnya Rp. 10,5 miliar. Jero juga melakukan pemerasan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) untuk menunjang kepentingan pribadinya dengan total Rp. 10,3 miliar. Selain itu, Jero didakwa menerima gratifikasi pembayaran biaya pesta ulang tahun dirinya sebesar Rp. 397 juta (cnnindonesia.co, 9/02/16).
Kasus Jero Wacik hanyalah satu kasus dari kasus-kasus korupsi lainnya yang divonis ringan oleh hakim. Di tahun sebelumnya, kasus pidana korupsi yang dilakukan oleh Bupati Bangkalan, Fuad Amin, hanya divonis 8 tahun penjara dan denda Rp.1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta.
Padahal saat itu Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Fuad Amin 15 tahun penjara, dan denda Rp. 3 miliar subsider 11 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan pidana korupsi dengan menerima suap Rp. 15,45 miliar dan melakukan tindak pindana pencucian uang senilai Rp. 354,448 miliar (Republika.co.id, 20/10/15).
Sanksi yang semakin ringan bagi koruptor harus kita kritisi. Terutama jika hukuman bagi koruptor itu tak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung tidak hanya oleh negara tetapi juga oleh masyarakat.
Pada tahun 2015, Indonesian Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan terhadap 524 vonis perkara korupsi. Dari jumlah perkara tersebut, 564 terdakwa diantaranya telah diputus oleh pengadilan. Sebanyak 401 putusan masuk pada kategori ringan, yakni 1 tahun hingga 4 tahun penjara. 56 putusan masuk pada kategori vonis sedang yakni vonis selama kurang dari 4 tahun hingga 10 tahun penjara. Adapun vonis berat hanya mencakup 3 orang, dengan vonis diatas 10 tahun penjara (www.antikorupsi.org).
Menurut catatan ICW tren vonis terhadap koruptor dari tahun ke tahun semakin ringan. Pada tahun 2013, sebanyak 79% terdakwa kasus korupsi divonis ringan. Begitu pula pada tahun 2014 yang mencapai 78,6% dan ditahun 2015 sebanyak 71,1% terdakwa korupsi divonis ringan (www.antikorupsi.org).
Apabila vonis bagi pelaku korupsi kita bandingkan dengan vonis kasus kriminal, kasus kriminal seringkali justru lebih berat. Meskipun memiliki efek lebih sempit dan personal, hukuman bagi pelaku kriminal bisa belasan, hingga puluhan tahun bahkan ada yang seumur hidup. Contohnya vonis hakim Mahkamah Agung atas kasus pembunuhan berencana Ade Sara, Hafitd dan Assyifa dimana terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup (metro.tempo.com, 23/07/15).
Padahal jika dilihat dari dampaknya, korupsi memiliki dampak yang begitu luas yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi selama ini juga merupakan penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sehingga seharusnya hukuman bagi para koruptor harus berat.
Seharusnya sebagai sebuah tindakan yang dikategorikan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi harus ditangani secara luar biasa dan pelaku koruptor juga harus dijatuhi hukuman yang luar biasa. Strategi memberantas korupsi harus dilakukan baik itu berupa upaya represif maupun upaya preventif.
Upaya represif yang bisa kita lakukan adalah menerapkan hukum pidana guna memberikan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan daya cegah bagi masyarakat agar menghindari segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Hal yang menjadi catatan penulis adalah pidana bagi korupsi harus diperberat. Misalnya bagi terdakwa kasus korupsi yang nominalnya ratusan hingga miliaran rupiah seharusnya divonis belasan bahkan puluhan tahun disamping pidana denda, kurungan, dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi. Terlebih lagi jika pelakunya adalah Pejabat Khusus (Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, dll) dan penegak hukum yang malah mengkhianati hukum. Penulis pun sepakat dengan gagasan pemiskinan koruptor dan juga pencabutan hak politik bagi koruptor.
Di samping itu perlu juga dilakukan upaya preventif yakni pencegahan tanpa pidana. Misalnya dengan mempengaruhi masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa, serta pendidikan kesadaran hukum bagi masyarakat dengan menumbuhkan budaya malu untuk melakukan korupsi. Kita juga perlu melakukan reorientasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan harus berlandaskan filsafat pendidikan, tak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga memuliakan watak. Generasi penerus harus terhindar dari bahaya laten korupsi.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com