Senin 16 Oktober 2017, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (Anies-Sandi) resmi dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Setelah dilantik, Anies-Sandi sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh 57,96 persen suara ini, siap memimpin warga DKI Jakarta. Menggantikan posisi Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) selaku Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode sebelumnya.
Menurut Penulis, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh Anies-Sandi di awal pemerintahannya. Tantangan pertama yakni melakukan konsolidasi birokrasi. Seperti yang kita ketahui bahwa di era pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, seringkali terjadi politisasi birokrasi.
Martini (2013) menyatakan politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada di dua sisi yaitu berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingan (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta yang lalu, pasangan Anies-Sandi berhadapan dengan pasangan petahana Ahok-Djarot. Pada umumnya, pasangan petahana merupakan lawan politik yang cukup kuat karena memiliki sumber daya pengaruh terhadap birokrasi guna melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu, konsolidasi birokrasi menjadi tantangan pemimpin baru, yakni Anies-Sandi, yang sangat penting untuk dilakukan mengingat roda penggerak pemerintahan ditopang oleh birokrasi.
Tantangan kedua adalah menjawab harapan masyarakat dengan cepat. Pasangan Anies-Sandi harus segera merespon persoalan-persoalan yang dirasakan oleh warga DKI Jakarta. Salah satu persoalan tersebut seperti kemacetan. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, kerugian yang terjadi akibat kemacetan di Jakarta sebesar 5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 670 triliun per tahun nya (tribunnews.com, 6/10/2017).
Selain itu persoalan lainnya adalah kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi di DKI Jakarta masih tergolong tinggi. Hal ini juga pernah diakui oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, yang menyatakan bahwa angka kemiskinan di Jakarta sebesar 3,5 persen, tergolong rendah se-Indonesia. Namun, berdasarkan data BPS Maret 2017, kesenjangan di Jakarta masih tergolong tinggi yakni tingkat rasio gini sebesar 0,41 (detik.com, 4/4/2017).
Oleh karena itu janji-janji Anies-Sandi yang menjadi prioritas pada masa kampanye harus segera dimulai. Sehingga janji-jani tersebut terimplementasikan dan dapat berdampak terhadap kepuasan masyarakat. Hal ini sangat penting karena jika berpatokan terhadap ukuran tingkat kepuasan masyarakat. Tingkat kepuasan warga DKI Jakarta pada pemerintahan sebelumnya tergolong tinggi. Beberapa hasil lembaga survey menyebutkan kepuasan warga DKI Jakarta berada rata-rata diatas 70 persen.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com