Papua di Mata Capres

Debat Calon Presiden (Capres) pertama yang berlangsung pada 12 Desember 2023 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi panggung yang menyuguhkan pemikiran ketiga calon pemimpin terkait isu-isu krusial. Isu-isu seperti Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi menjadi fokus utama dalam dialog yang berlangsung. Namun, di antara berbagai topik yang menarik perhatian, pertanyaan tentang penyelesaian konflik Papua muncul sebagai sorotan yang mencolok.

Ketiga calon presiden dengan tegas mengemukakan pandangan dan strategi mereka terkait penyelesaian konflik Papua, yang penyampaiannya dilakukan pertama oleh Prabowo Subianto. Prabowo menyampaikan bahwa Papua merupakan permasalahan rumit sehingga penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif. Masih dalam paparannya, Prabowo menyampaikan bahwa Papua masih diselimuti gerakan-gerakan separatisme. Bahkan, dirinya juga menyebut kata “teroris” yang menurutnya, masih sering menyerangi rakyat sipil.

Anies Baswedan menanggapi dengan menekankan bahwa masalah utama di Papua bukanlah kekerasan, melainkan ketiadaan keadilan, mencerminkan sebuah pandangan yang menitikberatkan pada akar permasalahan yang lebih mendalam. Dengan memfokuskan perhatian pada keadilan, Anies Baswedan mengisyaratkan bahwa penyelesaian konflik di Papua memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.

Menurut Anies Baswedan, keberadaan keadilan di Papua dianggap sebagai kunci untuk mengatasi berbagai permasalahan, termasuk kekerasan. Dengan menciptakan kondisi yang adil dan merata di seluruh lapisan masyarakat Papua, diharapkan ketegangan dan konflik dapat berangsur-angsur mereda. Ini mencerminkan pemahaman bahwa memperbaiki ketidakadilan dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Pendekatan Anies Baswedan tersebut juga menekankan pentingnya membangun hubungan yang inklusif dan mendengarkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat Papua. Penciptaan keadilan tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga melibatkan dimensi sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, pernyataannya menyoroti pentingnya merumuskan kebijakan yang mengakui hak-hak masyarakat Papua, memperkuat partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, dan menyediakan peluang yang setara di berbagai sektor kehidupan.

Pernyataan Ganjar Pranowo yang menekankan pentingnya dialog yang melibatkan semua pihak dalam menanggapi masalah di Papua menunjukkan dorongan untuk menciptakan ruang partisipatif dan inklusif. Dengan menggandeng semua pihak terkait, termasuk masyarakat Papua dan pemangku kepentingan lainnya, dialog semacam ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju pemahaman bersama dan penyelesaian konflik yang berkelanjutan. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung diskusi terbuka dan membangun kepercayaan di antara semua pihak terlibat.

Sementara itu, Prabowo menawarkan perspektif lain yang menegaskan rencananya untuk menegakkan hukum dan memperkuat aparat keamanan di Papua jika terpilih sebagai presiden. Penguatan hukum dan aparat keamanan ini diharapkan dapat menciptakan kondisi yang lebih stabil dan aman, dengan tujuan mengurangi tingkat ketegangan dan kekerasan di wilayah tersebut. Selain itu, penekanan pada penguatan ekonomi di Papua menunjukkan kesadaran akan pentingnya pengembangan ekonomi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dua pendekatan yang berbeda ini mencerminkan keragaman ide dan strategi yang mungkin diterapkan dalam menanggapi masalah di Papua. Perbedaan ini juga menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi dan perlunya pemikiran kreatif serta solusi yang seimbang dan komprehensif untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan kemajuan di wilayah tersebut. Namun apakah masalah sebenarnya yang terjadi di Papua?

Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2009, masalah di Papua melibatkan sejumlah aspek yang telah membentuk dinamika kompleks di wilayah tersebut. Pertama-tama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia telah menjadi sumber ketegangan yang berkelanjutan. Polemik seputar proses integrasi tersebut, yang bermula dari peristiwa di awal kemerdekaan Indonesia, terus menciptakan tantangan dalam mencapai pemahaman bersama antara pemerintah dan masyarakat Papua.

Kedua, kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sejak tahun 1965 merupakan beban berat yang masih belum sepenuhnya terpecahkan. Kekerasan yang terjadi di masa lalu seringkali tidak diikuti oleh proses hukum yang adil, menciptakan ketidakadilan dan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Papua.

Selanjutnya, diskriminasi dan marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua di tanahnya sendiri menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam perlakuan dan akses terhadap sumber daya. Hal ini menciptakan ketidakpuasan dan rasa ketidakamanan di antara masyarakat Papua, memperumit upaya pencapaian rekonsiliasi dan inklusi sosial.

Terakhir, kegagalan pembangunan di Papua mencakup sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pendidikan yang belum merata, akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan, dan kendala ekonomi menghambat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang tidak merata ini menciptakan kesenjangan sosial yang dapat meningkatkan ketidakpuasan dan ketegangan di wilayah tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, penyelesaian masalah di Papua tidak dapat dipandang sebelah mata; dibutuhkan pendekatan yang holistik dan inklusif. Hal ini mengharuskan kita untuk secara jujur mengakui sejarah kompleks yang membentuk kerangka masalah di wilayah tersebut. Sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat setempat perlu dipahami dengan seksama sebagai dasar pemahaman kita terhadap ketegangan yang masih berlanjut. Pemahaman ini harus menjadi landasan bagi langkah-langkah nyata yang dapat meningkatkan keadilan, partisipasi, dan pembangunan berkelanjutan.

Langkah pertama adalah mendengarkan dengan seksama aspirasi dan keluhan masyarakat Papua. Dialog terbuka dan inklusif menjadi sarana penting untuk memahami beragam perspektif dan kebutuhan yang ada. Selanjutnya, penguatan sistem hukum dan perlindungan HAM di Papua perlu diperkuat untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa pelanggaran HAM masa lalu tidak hanya dikenang tetapi juga dihadapi dengan tindakan hukum yang tepat.

Selain itu, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus diprioritaskan. Ini mencakup investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua. Pemberdayaan ekonomi lokal juga harus menjadi fokus, memberikan peluang dan dukungan bagi pengembangan usaha kecil dan menengah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata.

Pentingnya melibatkan semua pihak terkait, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat Papua, dan kelompok-kelompok adat, juga harus diperhatikan. Kolaborasi yang baik antara pihak-pihak ini menjadi kunci untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang efektif.

Dengan menggabungkan pemahaman mendalam akan sejarah, upaya konkrit untuk meningkatkan keadilan, dan keterlibatan aktif dari semua pihak terkait, dapat diciptakan kerangka kerja yang mempromosikan perdamaian, partisipasi yang adil, dan pembangunan berkelanjutan di Papua.

Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute
felia@theindonesianinstitute.com

Komentar