Banteng yang Dilema: Antara Ideologi dan Pragmatisme di Pilkada Jakarta

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah lama dikenal sebagai kekuatan politik militan, terutama sebagai oposisi yang berpengaruh selama era Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, perpisahan dengan salah satu kader utamanya, Joko Widodo, telah membawa dampak besar bagi partai. Kekalahan signifikan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 merupakan salah satu konsekuensi dari perpisahan ini, di mana PDIP kehilangan peluang untuk memengaruhi arah kebijakan nasional secara langsung.

Selain itu, perpisahan ini juga menyebabkan menurunnya dukungan basis pemilih tradisional dan mengganggu koalisi politik yang selama ini dibangun. Partai menghadapi krisis kredibilitas, dengan anggota partai yang mungkin merasa tidak puas atau kehilangan arah politik, serta tantangan dalam mengembalikan kepercayaan publik dan membangun kembali kekuatan politik yang sempat menurun.

Dalam situasi politik yang semakin dinamis, PDIP kini harus menghadapi tantangan besar dalam menentukan calon untuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Gejolak politik dan demonstrasi yang mengguncang konstitusi menambah kompleksitas situasi, menuntut PDIP untuk menyusun strategi yang cermat. Penentuan calon gubernur yang tepat tidak hanya penting untuk memenangkan pemilihan, tetapi juga untuk memperbaiki citra partai dan mengatasi dampak negatif dari kekalahan di Pilpres 2024.

PDIP harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kemampuan calon untuk menarik dukungan luas, menangani isu-isu lokal dengan efektif, dan mengintegrasikan platform partai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Jakarta. Diskusi internal partai semakin fokus pada bagaimana memilih calon yang tidak hanya berkompeten, tetapi juga mampu menghadapi tantangan politik yang ada dan merevitalisasi posisi PDIP di arena politik Jakarta.

Nama Anies Baswedan sempat mencuat ke permukaan sebagai kandidat potensial untuk Pilgub DKI Jakarta, terutama setelah kehadirannya di kantor PDIP, yang banyak diduga publik sebagai awal mula kerjasama antara keduanya. Meskipun demikian, muncul pertanyaan menarik mengenai alasan di balik pemilihan Anies Baswedan. Secara logika rasional, keputusan ini dapat dipahami mengingat hasil survei terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 25 Agustus 2024, yang menunjukkan bahwa Anies Baswedan secara konsisten menempati peringkat teratas dengan persentase sekitar 37%.

Angka tersebut menunjukkan tingkat popularitas dan dukungan yang signifikan dari publik, yang menjadikannya pilihan strategis bagi PDIP untuk mengoptimalkan peluang menang dalam pemilihan gubernur. Namun, sebagai partai dengan karakter yang keras serta klaimnya sebagai partai ideologis, PDIP memerlukan lebih dari sekadar modal populer. Selain itu, perlu diingat bahwa Anies Baswedan bukan merupakan kader PDIP, yang berarti bahwa keputusan untuk mengusungnya juga harus mempertimbangkan potensi tantangan dalam menyatukan visi dan misi serta mengintegrasikan calon eksternal ke dalam struktur dan budaya partai.

Setelah itu, muncul berita bahwa Anies Baswedan tidak jadi maju dan digantikan oleh Pramono Anung, kader senior PDIP yang memiliki kiprah politik yang cukup lengkap dan sejalan dengan visi, misi, serta tujuan partai. Pramono Anung, sebagai tokoh internal yang telah lama berkecimpung dalam dunia politik, menawarkan stabilitas dan pengalaman yang sesuai dengan karakter PDIP. Pilihan ini tampak lebih aman dan sesuai dengan garis ideologis partai, memastikan bahwa calon yang diusung benar-benar memahami dan mampu mewujudkan visi partai. Namun, keputusan ini juga membawa implikasi strategis yang tidak bisa diabaikan.

Namun, di tengah keputusan ini, muncul pertanyaan mendasar: akankah PDIP bertahan pada idealismenya? Sebagai partai yang dikenal keras dan berpegang teguh pada ideologi, keputusan untuk memilih kader internal seperti Pramono Anung mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip partai. Akan tetapi, politik tidak hanya membutuhkan idealisme, tetapi juga kemenangan untuk berkuasa. Setelah dibabat habis dalam Pilpres lalu, PDIP berada pada titik kritis di mana mempertahankan idealisme tanpa memperhitungkan peluang kemenangan bisa menjadi risiko yang besar. Apakah PDIP akan tetap teguh pada nilai-nilai yang telah menjadi identitas partai, ataukah mereka akan menyesuaikan strategi mereka demi meraih kemenangan yang lebih pasti?

Pada 27 Agustus 2024, PDIP secara resmi mengumumkan bahwa mereka akan mengusung Pramono Anung dan Rano Karno sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan mendatang. Keputusan ini diambil di tengah ketidakpastian mengenai dukungan dari koalisi dan peluang kemenangan di tengah kompetisi yang semakin ketat. Langkah PDIP ini dapat dipandang sebagai upaya tegas dalam menjaga idealisme partai dengan tetap mengutamakan kader sendiri, meskipun menghadapi risiko kekalahan. Namun, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah ini adalah bentuk idealisme yang kuat dan konsisten, atau justru sebuah idealisme yang terlalu optimistis dan kurang terukur dalam menghadapi realitas politik saat ini?

 

Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
felia@theindonesianinstitute.com

Komentar