Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 telah membatalkan berlakunya aturan terkait kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam membatalkan peraturan daerah (Perda). Putusan tersebut disampaikan Majelis Hakim MK dalam Sidang Perkara No. 137/ PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada Rabu, 4 April 2017 lalu, di Gedung MK (Kompas.com, 05/04/17).
Uji materi tersebut diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan kawan-kawan sejak tahun 2015. Di dalam petitumnya, Pemohon meminta agar peraturan terkait pembatalan perda yang diatur dalam Pasal 251 UU No. 23/2014 dibatalkan oleh MK. Di samping beberapa permohonan untuk menyatakan beberapa pasal seperti Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, pasal 27, dan Pasal 28 dalam UU No. 23/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dari beberapa dalil permohonan yang diajukan oleh Pemohon, MK hanya mengabulkan sebagian yakni berkaitan dengan kewenangan Mendagri dalam pembatalan perda yang diatur dalam Pasal 251 UU No. 23/2014. Sisanya, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima dan ditolak.
Dalam putusannya MK menyatakan “Mengabulkan permohonan Pemohon sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa ‘…pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat’ Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.”
Putusan MK ini banyak disayangkan oleh beberapa pihak. Sebab selama ini wewenang Mendagri dianggap sebagai terobosan dalam membersihkan perda yang menghambat jalannya birokrasi, misalnya dalam urusan investasi, pajak, dan retribusi. Akibat hukum dari Putusan MK ini adalah Mendagri tak lagi punya kewenangan untuk membatalkan perda yang menabrak peraturan lebih tinggi atau dalam tataran implementasi dirasa bermasalah atau bertentangan dengan kepentingan umum (Tempo.co, 07/04/17).
Sebelumnya di tahun 2016, Mendagri telah membatalkan 3.143 Perda meliputi 1765 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Mendagri, 111 Peraturan/putusan Mendagri yang dicabut/revisi oleh Mendagri, dan 1267 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Gubernur (www.kemendagri.go.id, 20/06/16).
Namun MK menilai bahwa Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif di daerah, yakni Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kedudukan Perda, baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota, dalam hirarki perundang-undangan adalah di bawah undang-undang (UU). Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12/2011).
Sebagai produk hukum di bawah UU, Perda seharusnya tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh eksekutif melalui Mendagri. Melainkan harus melalui judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Hal ini sesuai dengan kewenangan MA yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 yang salah satunya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Namun pertanyaannya apakah mekanisme pembatalan perda melalui uji materi di MA merupakan pilihan yang tepat dan efektif? Mengingat total daerah otonom di Indonesia saat ini adalah 542 daerah terdiri atas 34 Provinsi, 415 kabupaten dan 93 Kota (Kemendagri, 2014). Bisa dibayangkan berapa banyak jumlah Perda yang nantinya akan menumpuk di MA. Soal lain yakni berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat sipil jika ingin mengajukan permohonan uji materi perda-perda bermasalah ini nantinya.
Secara teoritis ada beberapa model pengujian peraturan perundang-undangan. Pertama, pengujian yang dilakukan melalui mekanisme peradilan terhadap kebenaran suatu norma tertentu dengan norma yang lebih tinggi. Pengujian seperti ini dikenal dengan istilah judicial review. Di Indonesia praktik judicial review ini dilakukan oleh lembaga kekuasaan kehakiman yakni MK dan MA. Berdasarkan Konstitusi, MK berwenang menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI 1945. Sementara MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (Jimly Asshiddiqie, 2006).
Kedua, pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif atau dikenal dengan istilah legislative review. Lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang memiliki hak untuk melakukan peninjauan atau perubahan peraturan perundang-undangan. Ketiga, pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif atau dikenal dengan istilah executive review. Executive review memberikan wewenang kepada lembaga eksekutif untuk menguji suatu perundang-undangan dan dapat dibatalkan apabila dipandang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun kepentingan umum (Imam Soebechi, 2012).
Di Indonesia, praktik executive review ini dilakukan terhadap Perda di mana Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perda jika Pemerintah Pusat berpendapat bahwa Perda yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.
Berdasarkan pada ketentuan UU No. 23/2014, pada penjelasan UU tersebut ditegaskan bahwa Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebab meskipun Negara Indonesia mengakui otonomi daerah yang seluas-luasnya, namun hal itu tetap dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Salah satu bentuk dari pengawasan Pusat terhadap daerah adalah dengan adanya executive review terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dengan demikian, baik judicial review maupun executive review, sama-sama merupakan konsep yang relevan untuk digunakan dalam pengujian Perda yang dipandang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.
Menurut Penulis, apabila kita ingin konsisten dengan pengertian UU No. 12/2011, maka pengujian Perda sebagai produk hukum di bawah UU seharusnya memang dilakukan melalui mekanisme judicial review oleh MA. Artinya UU No. 23/2014 yang mengatur tentang kewenangan Mendagri membatalkan Perda seharusnya dikoreksi dan tidak bertentangan dengan UU No. 12/2011 serta kewenangan MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.
Namun di sisi lain, apabila pertimbangannya dikembalikan pada hakikat keberadaan Perda serta efektifitas pengujian Perda, Penulis sepakat dengan pendapat Mahkamah yang berbeda (Dissenting Opinions) dengan Putusan sepanjang mengenai pembatalan Perda. Terutama yang terkait dengan kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
Meskipun berdasarkan pasal 18 UUD NRI 1945 daerah diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan, namun penanggung jawab terakhir penyelenggaraan pemerintahan itu tetap Presiden. Presiden berkepentingan dan berdasar hukum untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang berada di bawah tanggung jawabnya, dalam hal ini juga pemerintahan daerah, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Dengan demikian adalah konstitusional apabila Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah (vide Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015, hlm. 216).
Namun sebagai negara kesatuan dan negara hukum pada saat yang sama, Negara Indonesia perlu menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Sebagai jalan tengah Penulis merekomendasikan bahwa pengujian Perda dapat dilakukan oleh kedua lembaga tersebut yakni MA dan Mendagri. Untuk Perda yang telah disahkan, sudah memiliki nomor dan masuk ke dalam lembaran daerah, maka pengujian harus dilakukan melalui uji materi di MA.
Sedangkan peran Pemerintah Pusat, melalui Mendagri, dalam pengawasan Pemerintahan Daerah melalui executive review, dapat dilakukan secara preventif terhadap rancangan Perda. Hal ini lebih tepat disebut dengan executive preview dalam hal ini pengujian terhadap rancangan Perda. Artinya Pemerintah perlu lebih serius dan lebih ketat dalam melakukan supervisi atau mengawal pembuatan Perda ini untuk menyaring rancangan Perda sebelum menjadi Perda. Sehingga hal itu diharapkan dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kasus-kasus Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com