Menilik Konstitusionalitas Pembatasan Usia Capres

Proses sidang pemeriksaan terhadap uji materi terkait usia minimal calon presiden (Capres) sudah selesai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi Mahkamah Konstitusi akan menyampaikan putusannya, akankah permohonan Uji Materiil Undang-Undang (UU) Pemilu ini akan dikabulkan oleh MK? (https://nasional.kompas.com, 11/9/23).

Pertanyaan utama dalam hal ini adalah apakah pengaturan tentang persyaratan Capres merupakan ranah pembentuk UU untuk mengaturnya (Open Legal Policy)? Ataukah hal ini masuk dalam domain kewenangan MK untuk mengujinya? Mahkamah Konstitusi merupakan penjaga konstitusi (the Guardian of the Constitution) dan merupakan penafsir konstitusi satu-satunya (sole interpreter) yang sah menurut hukum, yang putusannya merupakan putusan yang final atas suatu perkara uji materiil untuk menguji konstitusionalitas suatu ketentuan dalam Undang-Undang (UU).

Terdapat 2 (dua) teori besar dalam penafsiran dan konstruksi konstitusi yang selalu menjadi perdebatan di lingkungan akademisi hukum tata negara di dunia, yang pertama adalah aliran “originalism,” di mana penafsiran teks konstitusi terikat pada kehendak orisinil pembentuk konstitusi (founding fathers). Hal ini didasari pada penghormatan dan cita-cita awal dari para pendiri negara, di mana penafsiran dengan aliran ini cenderung bersifat kaku dan tekstual. Sedangkan aliran kedua adalah “living constitutionalism”, di mana penafsiran konstitusi tidak harus terikat pada kehendak para pembentuknya. Para living constitutionalist mempercayai bahwa konstitusi adalah teks yang hidup dan dinamis sehingga dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman sesuai dengan konteksnya. Perdebatan antara originalism dan living constitutionalism ini memang tidaklah sederhana dan selalu memantik perdebatan ilmiah yang masih berkembang sampai saat ini.

Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga memiliki beberapa metode penafsiran yang telah diakuinya sendiri dalam putusan-putusan terdahulunya, yakni penafsiran original intent, tekstual dan gramatikal yang komprehensif. Seperti yang termaktub dalam Putusan MKRI Nomor 1-2/PUU-XII/2014, penerapan metode penafsiran tersebut oleh MK tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Penulisan yang berurut dari original intent, tekstual dan gramatikal oleh MK dalam putusannya dapat dianggap bahwa MK mengurutkannya metode penafsiran tersebut sesuai dengan tingkat prioritas kekuatan penafsirannya, karena penulisan urutan metode penafsiran tersebut tidak diurutkan secara alfabetis, maka dapat diartikan bahwa MK memprioritaskan original intent, daripada penafsiran tekstual dan gramatikal.

Dalam konteks perkara uji materiil usia pencapresan, jika kita ingin menafsirkan secara rigid teks konstitusi, maka seseorang bisa saja berpendapat bahwa pengaturan akan syarat-syarat Capres (termasuk syarat umur) merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. Hal ini merupakan penafsiran rigid tekstual (tersurat) atas Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Para ahli yang menggunakan aliran penafsiran tekstual rigid tentu akan berpendapat bahwa segala macam aturan terkait persyaratan Capres diserahkan kewenangan pengaturannya kepada pembentuk Undang-Undang, sehingga MK tidak berwenang untuk mengintervensi kebijakan para pembentuk UU (open legal policy).

Namun, dalam konsep pendekatan penafsiran yang lebih dinamis dan kontekstual (Living Constitutionalism), MK dapat dianggap berwenang untuk mengatur hal-hal yang secara pendekatan rigid tekstual dianggap sebagai Open Legal Policy. Hal ini merupakan pendapat MK sendiri dalam putusannya yang terdahulu (Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008) dalam halaman 187, yang pada intinya menyebutkan bahwa MK dapat membatalkan suatu produk kebijakan hukum jika jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

Oleh karena itu, dalam hal MK menganggap bahwa persyaratan usia minimum Capres tersebut adalah suatu Open Legal Policy, maka MK memang tidak berwenang untuk menentukan lain. Namun, jika MK meyakni bahwa ketentuan persyaratan usia minimal Capres 40 tahun tersebut dianggap melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, maka tentu MK tetap dapat membatalkan ketentuan tersebut. Selain itu, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juga menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan pula memiliki kontradiksi dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, karena di satu sisi, konstitusi memberikan hak konstitusional kepada segala warga negara untuk memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Namun, di sisi yang lain, negara menyerahkan pengaturannya kepada pembentuk UU.

Apa yang terjadi jika pembentuk UU membentuk UU yang ketentuannya ternyata bertentangan dengan hak konstitusi warga negara sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut? Apakah pembatasan usia Capres 40 tahun dapat dianggap telah mendiskriminasi warga negara yang berusia di bawah 40 tahun? Apakah warga negara yang berumur di bawah 40 tahun dianggap tidak memiliki kedudukan dan kemampuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan? Apakah hal ini tidak melanggar prinsip moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan? Atau, bagaimana dengan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”? Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tidak pernah menyatakan adanya persyaratan umur berapapun. Pasal ini menyebutkan bahwa “Setiap warga negara (tanpa memandang umur, ras, suku, agama) berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Apakah pembentuk UU boleh mengebiri hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dengan mensyaratkan umur minimal?

Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 ayat (1), bahkan DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap Pemerintah (Presiden dan jajarannya), dengan diperlengkapi dengan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. DPR juga memiliki tugas dan kewenangan yang seimbang dengan Presiden (bahkan dapat mengawasi Presiden dan menggulirkan mekanisme impeachment), namun syarat usia Anggota DPR hanyalah minimal 21 tahun. Berarti asumsi rasionalitas yang dipakai adalah warga negara umur 21 tahun ke atas memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap kerja-kerja eksekutif (Presiden dan kabinetnya).

Seorang pengawas tentu harus memiliki pengetahuan yang lebih daripada yang diawasinya, agar bisa menentukan apakah tindakan yang diawasinya adalah tindakan yang benar. Ibaratnya jika bekerja di suatu perusahaan, jabatan supervisor biasanya lebih memiliki pengalaman dan pengetahuan dibandingkan dengan yang karyawan yang disupervisinya. Jika umur 21 tahun ke atas saja dianggap mampu melakukan pengawasan terhadap Presiden yang berumur di atas 40 tahun, dan juga bahkan diberikan pula memiliki kewenangan pembentukan UU, maka apakah pembatasan usia Capres minimal 40 tahun melanggar prinsip rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable?

 

Semoga Mahkamah Konstitusi bisa memutus dengan seadil-adilnya.

 

Anthony Winza Probowo, S.H., LL.M.

Mahasiswa Master Public Administration di Harvard Kennedy School

Research Fellow Bidang Hukum dan Kebijakan Publik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

anthony_winza@hks.harvard.edu

Komentar