“Perlindungan Konsumen” di Indonesia

santiBerdasarkan data publikasi AC Nielsen, Indonesia merupakan negara konsumtif kedua di dunia setelah Singapura. Namun, yang mengagetkan adalah sebanyak 60% konsumen di Singapura merupakan warga negara Indonesia. Hal ini berarti, Indonesia merupakan negara konsumtif terbesar pertama sekaligus kedua di dunia.

Besarnya jumlah konsumen di Indonesia juga membuat kita berpikir mengenai bagaimana posisi konsumen di Indonesia. Apakah konsumen di Indonesia sudah benar-benar “terlindungi” atau belum.

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang tahun 2012 ada sebanyak 620 kasus permasalahan konsumen yang dilaporkan ke lembaga tersebut. Data ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 525 kasus.

Sedangkan sepanjang tahun 2013 ini, kasus permasalahan konsumen (juga) masih menjadi permasalahan yang pelik. Sebut saja, kasus pembatalan penerbangan Batavia Air pada awal tahun 2013 silam; kasus penyedotan pulsa bermotif RBT (Ring Back Tone atau nada sambung); kasus-kasus makanan tidak layak konsumsi, seperti ikan berformalin, bakso berformalin, produk kadaluarsa dan lain-lain; kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang beredar bebas di pasaran; serta masih banyak lagi jenis kasus yang lainnya.

Dengan menilik berbagai kasus yang telah atau sedang terjadi di Indonesia, bisa dikatakan bahwa perlindungan konsumen di negara ini masih sangat rendah. Hal ini cukup kontradiktif mengingat Indonesia telah memiliki kebijakan tentang perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).

Secara garis besar, UU PK telah membatasi peran antar pelaku usaha dan konsumen, serta mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Ada beberapa poin penting dalam UUPK, yang perlu diketahui oleh masyarakat umum, baik konsumen maupun pelaku usaha.

Pertama, mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh para pelaku usaha dan konsumen. Kedua, mengenai sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen. UU PK mengatur mengenai sanksi hukum pidana, seperti yang terdapat pada Pasal 62 ayat 1 dan ayat 2.

Ketiga, kasus persengketaan konsumen dan pelaku usaha yang bisa dibawa ke ranah pengadilan, dengan perantara lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (Pasal 45). Sebagai realisasinya, Pemerintah telah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Pasal 49 UU PK.

Saat ini, BPSK sudah terbentuk di 34 daerah di Indonesia, yakni Kab. Aceh Utara, Kab. Bandung, Kab. Belitung, Kab. Bulungan, Kab. Indramayu, Kab. Jeneponto, Kab. Kupang, Kab. OKU, Kab. Serang, Kab. Serdang Badagai, Kab. Sukabumi, Kab. Tangerang, Kota Bandung, Kota Batam, Kota Bogor, Kota Denpasar, Kota Jakarta, Kota Kediri, Kota Kupang, Kota Makassar, Kota Malang, Kota Mataram, Kota Medan, Kota Padang, Kota Palangkaraya, Kota Palembang, Kota Pare Pare, Kota Pekalongan, Kota Pekanbaru, Kota Samarinda, Kota Semarang, Kota Sukabumi, Kota Surabaya, dan Kota Yogyakarta.

Kehadiran BPSK cukup efektif dalam mengatasi permasalahan perlindungan konsumen. Misalnya seperti yang terjadi Kota Pekanbaru. Dalam satu bulan, BPSK sudah berhasil menangani sebanyak 12 kasus dari 12 kasus yang diajukan, meskipun baru 6 kasus yang sudah ada putusan. Sedangkan BPSK Sukabumi, dalam kurun waktu 10 bulan, telah menangani sebanyak 121 kasus dari 121 kasus pengaduan yang masuk.

Di sisi lain, meski persoalan perlindungan konsumen telah diatur dalam UU PK, namun masih ada beberapa hal yang perlu dilakukan guna memperbaiki perlindungan konsumen di Indonesia.

Pertama, menjadikan persoalan konsumen menjadi masalah semua orang, bukan hanya tugas YLKI sebagai advokasi. Dari segi masyarakat sendiri, sebaiknya sebagai konsumen, harus cerdas dalam memilih barang atau jasa yang diperlukan.

Kedua, segi pelaku usaha, sebaiknya melakukan upaya bersama untuk memperbaiki citra dari produk yang dihasilkan. Contoh, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Asosiasi Nelayan yang meminta pemerintah menyelidiki ikan berformalin. Hal ini dilakukan, selain demi keuntungan nelayan guna memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap ikan Indonesia, juga dapat memberantas segala tindakan para oknum pedagang yang dapat merugikan konsumen.

Ketiga, memperbaiki proses advokasi pemerintah dan merevisi UU PK. UU PK yang dipakai sekarang merupakan produk hukum tahun 1999. Meskipun penulis tidak benar-benar menyatakan bahwa UU yang sudah lama, akan tidak relevan dengan kondisi sekarang, namun sebaiknya pemerintah merevisinya dengan mengacu pada beberapa kasus permasalahan konsumen, yang tidak pernah habis sampai sekarang.

Misalnya, aturan tentang persengketaan perlindungan konsumen melalui proses non-peradilan yang cenderung dianggap lebih sederhana dan tidak mahal oleh masyarakat. Selain itu, UU PK seharusnya juga mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang tidak melaksanakan putusan BPSK sebagai efek jera. UU PK juga perlu mempertimbangkan nominal sanksi berupa denda terutama bagi pelaku usaha kecil.

Sedangkan dalam proses advokasi, terkait dengan peran BPSK. Sebaiknya jumlah BPSK terus ditingkatkan guna meningkatkan advokasi pemerintah terkait perlindungan konsumen hingga ke daerah-daerah. Selain itu, diharapkan pemerintah dapat memberi pemahaman terhadap masyarakat bahwa mengurus masalah perlindungan konsumen di ranah pengadilan sederhana dan tidak mahal.

Selain itu, hal ini juga terkait dengan revisi UU PK, yang seharusnya (juga) mengatur mengenai peran BPSK agar dapat menyelesaikan kasus non-peradilan.Sedangkan untuk proses pengadilan, sebaiknya diserahkan ke pengadilan negeri agar BPSK fokus pada kasus non-peradilan.

Terakhir, menegakkan penerapan UU PK dengan sanksi yang tegas dan mengoptimalkan peran BPSK dan YLKI. Dengan optimalnya peran BPSK dan YLKI, maka masyarakat memiliki “pegangan” untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen, sehingga persoalan terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia dapat teratasi.

Santi Rosita Devi, Peneliti Yunior Bidang Sosial The Indonesian Institute (santi@theindonesianinstitute.com)

Komentar